Photobucket

Selasa, 09 Agustus 2011

Lebih Afdhol Mana Antara Puasa atau Tidak bagi Wanita Hamil?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
Wanita hamil tidak lepas dari dua hal:
1. Wanita itu kuat dan semangat untuk jalani puasa, tidak sulit baginya jalani puasa dan tidak membawa efek bagi janinnya, maka wajib bagi wanita hamil tersebut untuk berpuasa. Karena ketika itu tidak ada udzur baginya untuk tidak berpuasa.
2. Wanita tersebut tidak mampu dan berat jalani puasa atau badannya lemas jika jalani puasa dan sebab lainnya, maka dalam kondisi ini hendaklah ia tidak berpuasa. Apalagi jika membawa efek pada janinnya, kondisi ini juga wajib baginya untuk tidak berpuasa.
[Fatawa Asy Syaikh Ibnu 'Utsaimin, 1/487]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata,
Status wanita hamil dan menyusui adalah seperti orang yang sakit. Jika ia sulit jalani puasa, maka ia boleh tidak puasa, namun tetap dirinya harus mengqodho (nyaur) puasanya ketika ia mampu nantinya, statusnya seperti orang sakit. Sebagian ulama berpendapat cukup bagi wanita hamil dan menyusui mengganti puasanya dengan menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi hari yang tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang tepat, tetap baginya menunaikan qodho puasa seperti musafir dan orang sakit. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (Diriwayatkan oleh yang lima)
[Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata'alluq bi Arkanil Islam, hal. 171]
Semarang, 8 Ramadhan 1432 H (08/08/2011)
Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Tidak Semua Majikan Arab Kejam

Kala safar barulah kita ketahui bagaimanakah aib atau kekurangan seseorang. Saat journey yang cukup panjang dan memakan waktu lebih dari 24 jam, kami bersama para TKI/TKW yang berangkat dari kota Riyadh dan ada sebagian yang berasal dari Abu Dhabi. Berikut beberapa curhatan tentang TKW yang kami dapati selama melakukan long trip tersebut.
Sulit Memperhatikan Shalat
Sudah sangat dimaklumi bahwa para TKI/TKW akan sangat mudah untuk menunaikan ibadah haji dari Saudi atau mungkin melakukan umroh beberapa kali. Jika kembali ke Indonesia, mereka sudah sangat akrab dipanggil masyarakat dengan sebutan Pak Haji, Bu Haji. Namun demikianlah aib mereka pun nampak ketika safar. Yang kami sedihkan semenjak berangkat dari kota Riyadh, sedikit sekali di antara mereka yang memperhatikan shalat lima waktu. Lihat saja selama perjalanan ketika transit, tidak satu pun beranjak menunaikan shalat kecuali seorang ibu-ibu yang mau diajak. Di tempat transit, amat sulit mencari musholla dan melakukan shalat berjama’ah. Alhamdulillah, kami pun dimudahkan oleh Allah untuk bisa berjama’ah. Kami bertemu dengan orang-orang Arab yang sama-sama berangkat dari Riyadh. Maklumlah di Saudi sudah sangat ma’ruf jika mereka sangat memperhatikan shalat berjama’ah. Akhirnya meskipun di ruang tunggu, kami tetap melaksanakan shalat di atas karpet yang terbentang luas. Walau mungkin terasa aneh bagi sebagian orang.
Tidak Disebut Muslim
Kembali pada masalah di atas. Label haji yang sering disandangkan masyarakat pada para TKI tadi, sungguh sangat disesalkan. Karena dalam tingkah laku mereka sendiri, hak Allah diinjak-injak. Kita tahu bahwa shalat lima waktu adalah rukun Islam yang utama. Bahkan di akhir hayat hidup khalifah ‘Umar, ia berkata, “Laa islama liman tarokash sholaah (tidak ada Islam bagi orang yang meninggalkan shalat)”. Artinya shalat itu begitu urgent sampai-sampai ‘Umar di akhir-akhir nafas beliau, masih sempat mengucapkan kalimat semacam itu. Jadi seakan-akan label haji sudah menjadikan mereka mendapati bau surga. Padahal keseharian mereka jauh dari Islam. Dan itu adalah tanda kebaikan haji mereka jadi tanda tanya karena setelah kebaikan haji malah diiringi setelahnya dengan perbuatan kufur meninggalkan shalat. Pahadal tanda diterima amalan kebaikan seseorang adalah setelah kebaikan diikuti dengan kebaikan selanjutnya. Sebagaimana kata para salaf, “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya“. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/417). Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 394)
Akibat Tingkah Laku Mereka Sendiri
Sebagian TKI/ TKW yang kami temui, ada yang berkomentar bahwa majikannya itu brengsek. Entah masalah gaji lah, entah karena pekerjaan yang dibebankan banyak, itu yang sering mereka keluhkan. Kami cuma bisa bertutur saja dalam hati, “Pantas saja ia disiksa, diperlakukan tidak baik, bisa jadi itu akibat menyepelekan hak Allah.” Mungkin saja tingkah laku orang Arab yang kasar itu karena kelakukan TKI tersebut terhadap Allah yang amat jelek, di antaranya karena sering meninggalkan shalat.
Tidak selamanya kita mesti menyalahkan majikan Arab, namun seharusnya para TKI juga bisa introspeksi diri. Kenapa ada di antara mereka yang disiksa? Kenapa di antara mereka yang diperlakukan kasar? Mungkin saja itu teguran bagi mereka.
Ada TKW yang Diperkosa
Di antara kesalahan yang dilakukan para TKI adalah yang kami sebutkan di atas. Juga mudahnya para TKW diperlakukan tidak senonoh bahkan diperkosa oleh majikannya karena kesalahan mereka juga. Kenapa mereka mau mencari nafkah di negeri orang tanpa mahrom? Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya?
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar). Lihat saja, para TKW pergi ke negeri orang lebih dari tiga hari, jelas itu melanggar aturan Allah.
Dalam hadits lainnya juga disebutkan,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا »
Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma). Lihat saja dalam hadits ini, meskipun mau berhaji, seorang wanita tetap wajib ditemani oleh mahromnya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahrom. Dan dalil-dalil tersebut tidak menyatakan satu safar pun sebagai pengecualian. Padahal safar untuk berhaji sudah masyhur dan sudah  seringkali dilakukan. Sehingga tidak boleh kita menyatakan ini ada pengecualian dengan niat tanpa ada lafazh (pendukung). Bahkan para sahabat, di antara mereka memasukkan safar haji dalam hadits-hadits larangan tersebut. Karena ada seseorang yang pernah menanyakan mengenai safar haji tanpa mahrom, ditegaskan tetap terlarang.” (Syarh Al ‘Umdah, 2/174)
Belum lagi di antara para TKW yang tidak menjaga aurat dengan baik. Di luar rumah bisa jadi mereka memakai pakaian hitam-kitam yang tertutup rapat sampai menggunakan  cadar sebagaimana yang terlihat pada wanita Saudi. Namun di dalam rumah atau ketika sudah meninggalkan Saudi, mereka tidak menjaga aurat dengan rapat bahkan sampai mencopot jilbabnya. Na’udzu billah … Maka pantas saja, ada yang diperkosa oleh majikan atau keluarga majikan karena sebab ini.
Tidak Semua Orang Arab Kejam
Opini di atas bukan ingin menyalahkan TKI/ TKW. Kami hanya ingin mengutarakan agar mereka pun bisa mengoreksi diri. Dan perlu diketahui pula bahwa kita tidak bisa selamanya terus menyalahkan majikan Arab sebagaimana sering dipojokkan di beberapa media. Ingat bahwa media yang memanas-manasi hal ini hanya ingin melariskan beritanya supaya jajanan mereka laku. Jadi wajar saja, berita TKW saat ini jadi masalah pokok di media-media. Namun patut kita ketahui bahwa tidak semua orang Arab atau majikan Arab itu kejam. Sebagian memang seperti itu, sama halnya di negeri kita ada juga majikan yang kejam karena orang Arab bukanlah semua keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau keturunan Abu Bakr yang amat santun. Namun tidak semua dari mereka yang memperlakukan pembantu rumah tangga seperti budak, sampai boleh disetubuhi (alias: zina). Tidak semuanya seperti itu. Ada yang tidak ingin wanita seorang diri jadi pekerja di rumahnya, maka si majikan minta agar suami-istri yang datang sekaligus sebagai pembantu rumah tangga. Banyak juga majikan yang sampai menghajikan para pembantunya, padahal mereka baru saja dua bulan menginjakkan kaki di tanah Arab. Ada pula yang begitu dermawan, buktinya para pelajar di Saudi bisa mendapatkan bantuan dari para muhsinin. Para muhsinin tersebut menyewakan rumah kepada para pelajar yang perhatian pada agama sehingga bisa ditempati oleh mereka dan keluarganya. Sewa rumah tersebut diberi dengan biaya yang tidak sedikit, sampai 20-an juta rupiah. Jadi tidak semua orang Arab itu kejam, tidak semuanya itu brengsek, tidak semuanya bengis. Tolonglah bersikap adil dalam menilai mereka!
Hentikan Pengiriman TKW
Dari kasus Ruyati yang jadi piramida masalah TKW saat ini, sebenarnya para TKW seharusnya bisa mengoreksi diri karena berbagai sisi alasan yang kami kemukakan di atas. Lihat saja mereka nekad mencari nafkah dengan melanggar aturan Allah dengan bepergian tanpa mahrom dan sebagian mereka yang sering buka-bukaan aurat, tidak menutup rapat di hadapan majikan. Ada seorang TKI yang berkata pada kami, “Saya bersyukur sekali jika TKW tidak dikirim lagi ke Saudi. Mereka hanya jadi rusak di sini. Bahkan di kota Jeddah, banyak di antara para TKW yang menjual diri.” Kami pun sepakat dengannya dalam hal ini. Pekerja lelaki jarang mendapati problema. Masalah yang paling sering terjadi adalah yang menimpa para TKW karena alasan dalil yang kami kemukakan di atas dan beberapa alasan lainnya. Maka kami pun satu kata dengan apa yang dikatakan TKI tadi.
Demikian sedikit curhat kami lewat tulisan ini. Ini hanya opini kami berdasarkan dalil-dalil yang kami rasa itu dilanggar oleh para TKW. Semoga Allah beri taufik.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

@ Soekarno Hatta Airport – Jakarta, 27th Rajab 1432 H (29/06/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 04 Agustus 2011

Kemuliaan Pembawa Hadits

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها وَحَفِظَها – حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits yang shahih dan mutawatir).
Takhrij Hadits dan Derajatnya
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (no. 3660), at-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 4890), dan imam-imam lainnya.
Hadits ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat radhiyallahu ‘anhum dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak sekali[1].
Imam Shalahuddin al-’Ala’i berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar sahabat radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Abdullah bin mas’ud, Jubair bin muth’im, Zaid bin Tsabit, Nu’man bin Basyir, Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdillah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Abu Qarshafah dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum[2].
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Hadist ini sangat masyhur (dikenal), dikeluarkan dalam kitab-kitab “as-Sunan” atau dalam sebagiannya, dari hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Jubair bin muth’im. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dan (imam) Abul Qasim Ibnu Mandah menyebutkan dalam kitabnya “at-Tadzkirah” bahwa hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh dua puluh empat orang sahabat radhiyallahu ‘anhum, kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat tersebut…”[3].
Bahkan imam as-Suyuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (2/179) menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sekitar tiga puluh orang sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Hadits ini dinyatakan shahih oleh sejumlah besar imam Ahlul hadits, di antaranya: imam Abdurrahman bin Abi Hatim[4], Ibnu Hibban[5], al-Mundziri[6], al-’Ala’i[7], Ibnul Qayyim[8], al-Bushiri dan syaikh al-Albani[9].

Syarah Hadits
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan orang yang mempelajari, memahami, kemudian menyampaikan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau kepada umat manusia. Sampai-sampai imam Ibnul Qayyim ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan mempelajari ilmu (tentang hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali (keutamaan yang disebutkan dalam hadits) ini, maka cukuplah itu sebagai kemuliaan (yang agung), karena sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi orang yang mendengar ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain)”[10].
Semakna dengan ucapan di atas, Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Hadits ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan/mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan) tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari, menghafal dan menyampaikan hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali (hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka cukuplah itu sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan akhirat, serta bagian dan keutamaan (yang besar)”[11].
Doa kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan (rupa), yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang mempelajari dan menyampaikan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat ini adalah sebagai al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka), karena mereka telah mengusahakan sebab sampainya petunjuk dan bimbingan kebaikan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia, yang dengan mengamalkan ini semua, wajah manusia akan menjadi putih berseri pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah Ta’ala,
{يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُون. وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون}
Pada hari yang (di waktu itu) ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman, karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya” (QS Ali ‘Imraan: 106-107)[12].
Dan sungguh doa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini benar-benar terbukti secara nyata pada diri orang-orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan keikhlasan serta mengharapkan balasan pahala dari Allah Ta’ala[13].
Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Ada yang mengatakan: Sungguh Allah telah mengabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (tersebut). Oleh karena itu, kamu dapati para (ulama) ahli hadits adalah orang yang paling bagus (elok) wajahnya dan indah penampilannya. Diriwayatkan dari imam Sufyan bin ‘Uyainah bahwa beliau berkata: “Tidak ada seorang pun yang menuntut (ilmu) hadits kecuali (terlihat) pada wajahnya kecerahan”[14], yaitu: keindahan yang tampak atau (yang bersifat) maknawi (tidak tampak)” [15].
Hal ini tidaklah mengherankan, karena secara umum Allah Ta’ala menjadikan perbuatan baik dan amalan shaleh sebagai sebab yang menjadikan kebaikan dan keindahan lahir dan batin pada diri orang yang mengamalkannya, terlebih lagi pada diri orang-orang yang membawa petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sumber kebaikan dalam agama ini.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal) kebaikan itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rezki dan kebencian di hati manusia”[16].
Oleh karena itu, imam Ibnul Qayyim berkata, “Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini (keindahan rupa) mengandung arti keindahan/keelokan pada lahir dan batin, karena (kata) an-nadhrah berarti kecerahan dan keindahan yang menghiasi wajah, (yang bersumber) dari pengaruh iman (dalam hati), serta kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan (yang dirasakan dalam) batin dengan keimanan tersebut, sehingga kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan itu akan tampak (nyata) berupa kecerahan pada wajah. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengumpulkan kesenangan dan kebahagiaan (dalam hati) dengan keceriaan (pada wajah, sebagai balasan kemuliaan bagi penduduk surga), sebagaimana dalam firman-Nya,
{فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورً}
Maka Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan menganugerahkan kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta kegembiraan (dalam hati mereka)” (QS al-Insaan: 11).
Maka kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan kegembiraan/kebahagiaan (ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa kesenangan dan kegembiraan (dalam) hati akan menampakkan (pegaruh baik berupa) kecerahan pada wajah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (tentang keadaan penduduk surga),
{تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيم}
Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan” (QS al- Muthaffifiin:24).
Kesimpulannya, kecerahan pada wajah bagi orang yang mendengarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain), ini adalah pengaruh kemanisan (iman), dan kesenangan serta kebahagiaan (yang dirasakannya) di dalam hati”[17].
Keterangan di atas menunjukkan keutamaan yang agung dari mempelajari dan memahami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membersihkan penyakit hati dan kotoran jiwa manusia, yang itu semua merupakan penghalang utama untuk mencapai kemanisan iman dan kebahagiaan hati.
Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganalogikan petunjuk dan ilmu yang beliau bawa dengan air hujan yang Allah Ta’ala turunkan ke bumi untuk memberikan kehidupan bagi tanah yang tandus dan bagi makhluk hidup. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا…
Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah Ta’ala wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“([18]).
Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah Ta’ala) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri/tanah yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…”[19].
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[20].
Maraatib (Tingakatan/Tahapan) dalam Menuntut Ilmu Agama
Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisyaratkan tentang maraatib (tingakatan/tahapan) yang harus ditempuh dalam menuntut ilmu agama, agar ilmu yang dipelajari benar-benar dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi orang yang mempelajarinya.
Tahapan-tahapan ilmu tersebut adalah:
1- Mendengarkan/menyimak ilmu dari sumbernya, sumber ilmu yang utama adalah al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam hal ini membaca dan menelaah kitab-kitab ilmu agama yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala tersebut.
2- Berusaha memahami dan meresapi kandungan maknanya, agar ilmu itu benar-benar menetap dalam hati dan tidak hilang.
3- Berusaha menjaga dan menghafalnya, agar tidak dilupakan.
4- Menyebarkan dan menyampaikannya kepada umat, supaya kebaikan dan petunjuk Allah Ta’ala tersebar dan diamalkan dalam kehidupan manusia, karena ilmu agama itu ibaratnya seperti perbendaharaan harta yang terpendam dalam tanah, kalau tidak segera dikeluarkan maka harta itu terancam akan musnah[21].
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat lebih utama daripada menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh (berperang melawan musuh-musuh Islam). Karena menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh mampu dilakukan oleh mayoritas manusia, adapun menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kepada umat) hanyalah bisa dilakukan oleh waratsatul Anbiya’ (orang-orang yang mewarisi ilmu para Nabi ‘alaihimus salam dengan tekun mempelajarinya) dan orang-orang yang menggantikan (tugas) mereka (dalam mempelajari, memahami dan menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala) di umat-umat mereka. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk (golongan) mereka, dengan anugerah dan kemurahan-Nya”[22].
Kemudian, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hadits ini, “…Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya…”, ini menunjukkan salah satu manfaat besar dari menyampaikan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (di akhir hadits) ini merupakan peringatan akan pentingnya menyampaikan (petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat). Karena terkadang orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, sehingga orang tersebut mendapatkan (manfaat besar) dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang disampaikan kepadanya) melebihi yang didapatkan si penyampai. Atau (bisa juga) diartikan bahwa orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, maka ketika dia mendengarkan hadits tersebut, dia akan mengartikannya dengan sebaik-baik kandungan makna, menarik kesimpulan (hukum-hukum) fikh, dan memahami kandungan (yang benar) dari hadits tersebut”[23].
Fawa’id Hadits
1- Besarnya perhatian dan semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan bimbingan kebaikan kepada umatnya, untuk kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya apa-apa yang menyusahkanmu, sangat menginginkan (petunjuk dan kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” (QS at-Taubah:128).
2- Peringatan untuk memberikan perhatian besar dalam mempelajari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah (yang berhubungan dengan periwayatan/perawi dalam sanad hadits) maupun dirayah (makna dan kandungan hadits).
3- Keutamaan menekuni ilmu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendokan kebaikan bagi orang-orang yang menekuninya.
4- Anjuran untuk menyebarkan dan mendakwahkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
5- Agungnya kemuliaan dan keutamaan para ulama ahli Hadits.
6- Anjuran untuk menjaga dan menghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7- Al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia adalah sesuai dengan jenis perbuatan mereka).
8- Keutamaan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah orang yang paling pertama dan sungguh-sungguh dalam mendengarkan, memahami dan menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat ini, maka merekalah yang paling berhak untuk mendapatkan kemuliaan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
9- “Barangsiapa yang mengajak (manusia) untuk (melakukan) kebaikan, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang melakukannya”[24].
10- Mendoakan kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan rupa bagi orang yang mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
11- Larangan menyembunyikan ilmu dan petunjuk kebaikan.
12- Hadits ahad (hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya sedikit) adalah dalil dan hujjah (argumentasi) yang wajib diamalkan kandungannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini tidak mensyaratkan jumlah yang banyak bagi orang yang mendengar dan menyampaikan hadits-hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
13- Kebaikan manusia lahir dan batin hanyalah dicapai dengan memahami dan mengamalkan petunjuk Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
14- Fungsi utama petunjuk yang dibawa oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembersih penyakit hati dan kotoran jiwa manusia.
15- Mempelajari, memahami, menghafal dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk sebab utama terjaganya kemurnian sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini termasuk makna firman Allah Ta’ala,
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an[25], dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS al-Hijr:9).
16- Keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama.
17- Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih adalah sumber pengambilan hukum-hukum fikh.
18- Keutamaan menggabungkan antara menghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memahami kandungan maknanya[26].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 11 Dzulqa’dah 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat kitab “dirasatu hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati…” (3/315- kutubu wa rasa-il syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad). [2] Kitab “Jaami’ut tahshiil fi ahkaamil maraasiil” (hal. 52-53).
[3] Dinukil oleh imam al-Munawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (6/283).
[4] Dalam kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (2/10).
[5] Dalam kitab “Shahih Ibni Hibban” (2/454).
[6] Dalam kitab “at-Targiibu wat tarhiib” (1/54).
[7] Dalam kitab “Jaami’ut tahshiil fi ahkaamil maraasiil” (hal. 53).
[8] Dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[9] Dalam kitab “sislsilatul ahaaditsish shahiihah” (1 bagian 2/761).
[10] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[11] Kitab “Mirqaatul mafaatiih syarhu misykaatil mashaabiih” (1/288).
[12] Lihat kitab “dirasatu hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati…” (3/446).
[13] Ibid (3/455).
[14] Dinukil oleh imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Syarafu ashhaabil hadits (hal. 27).
[15] Kitab “Mirqaatul mafaatiih syarhu misykaatil mashaabiih” (1/288).
[16] Dinukil oleh imam Ibnu Taimaiyah dalam kitab “al-Istiqaamah” (1/351) dan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 43).
[17] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[18] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[19] Fathul Baari (1/177).
[20] Kitab “Talbisu Ibliis” (hal.398).
[21] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71-72).
[22] Kitab “Jala-ul afhaam” (hal. 415).
[23] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/72).
[24] HSR Muslim (no. 1893).
[25] Termasuk di dalamnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sunnah adalah penjelas makna al-Qur’an.
[26] Lihat kitab “dirasatu hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati…” (3/368-375).

Tafsir Ayat Kursi

Keutamaan Ayat Kursi
Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.

Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku pun menjawab,
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)
Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:
مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُمْسِيَ
“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ
“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.
Tafsir Ayat Kursi
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”
Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.
Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ
“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.
Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.
Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”
Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.
Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:
  1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
  2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض فَلاَةٍ
“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
“Dan Allah tidak terberati  pemeliharaan keduanya.”
Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”
Ia menjawab, “Di langit.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)
Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.
Kesimpulan:
  1. Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
  2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan sore, dan sebelum tidur.
  3. Penegasan kalimat tauhid.
  4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
  5. Semua bentuk  kekurangan harus dinafikan dari Allah.
  6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
  7. Ilmu Allah sangat sempurna.
  8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat  yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat makhluk.
  9. Arti dan keagungan kursi Allah.
  10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
  11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
  12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan-Nya.
Wallahu a’lam.
Referensi:
  1. Al-Quran dan  Terjemahnya
  2. Tafsir Ibnu Katsir
  3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
  4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
  5. Shahih al-Bukhari
  6. Shahih Muslim
  7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
  8. al-Mustadrak, al-Hakim.
  9. Shahih Ibnu Hibban
  10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
  11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
  12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
  13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
  14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan ketenangan baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah)
***
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grocery Coupons