Photobucket

Kamis, 16 Juni 2011

Westernisasi

10/02/2001
Westernisasi adalah sebuah arus besar yang mempunyai jangkauan politik, sosial, kultural dan teknologi. Arus ini bertujuan mewarnai kehidupan bangsa-bangsa, terutama kaum muslimin, dengan gaya Barat. Dengan cara menggusur kepribadian Muslim yang merdeka dan karakteristiknya yang unik. Kemudian kaum muslimin dijadikan tawanan budaya yang meniru secara total peradaban Barat. Sekarang kebudayaan bangsa Indonesia sudah meniru kebarat-baratan. Usaha mereka telah berhasil. Apalagi ditunjang dengan tampilnya acara-acara TV yang terlalu berkiblat pada peradaban Barat. Kini jati diri kepribadian Muslim hanya tampak pada sebagian kecil ummat. Bangga dengan kebiasaan dan adat orang-orang kafir, sementara dengan adatnya sendiri merasa risih dan malu sudah nampak jelas di sebagian kalangan ummat Islam. 


SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, orang-orang yang berpandangan Timur di dunia Islam, mulai memodernisasi dan memperkuat tentara mereka dengan cara mengirim kader-kadernya ke negara-negara Eropa, atau dengan mendatangkan para ahli dari Barat untuk mengajar dan membuat perencanaan bagi kebangkitan modern. Hal ini dilakukan dalam rangka menghadapi usaha keras orang-orang Barat dalam memperluas pengaruh kolonialisme mereka sesudah masa kebangkitan Eropa.
Sultan Mahmud II telah menguasai janisari (prajurit Turki pada masa khilafah) Osmaniyah tahun 1826 M dan menginstruksikan kepada orang-orang militer dan sipil supaya memakai pakaian Eropa.
Tahun 1255 H/1839 M Abdul Majid, salah seorang pengusa kesultanan Osmani, mengedarkan sebuah brosur yang isinya memperbolehkan non muslim menjadi anggota dinas militer.
Malah Sultan Salim III mendatangkan para teknisi dari Swedia, Perancis, Hongaria dan Inggris dalam rangka mendirikan sebuah Akademi Militer dan Angkatan Laut.
Muhammad Ali, Gubernur Mesir yang berkuasa tahun 1805 M, membentuk pasakan tentara sistem Eropa. Selain itu ia sengaja mengirim tenaga-tenaga Al-Azhar ke Eropa untuk mendalami berbagai disiplin ilmu.
Ahmad Basya Bey I membangun tentara reguler di Tunisia. Kemudian ia membangun akademi militer yang pengajarnya dari perwira-perwira Perancis, Italia dan Inggris.
Tahun 1852 M dinasti Qajar di Iran membuka sebuah akademi model Barat, yaitu Akademi Sceince dan Seni.
Perjalanan westernisasi dapat ditelusuri sejak tahun 1860 M ketika gerakan ini memulai aktifitasnya di Libanon melalui para zending Kristen. Dari sanalah kemudian merambat ke Mesir. Di bawah naungan Khudaiwi Ismail yang akan menjadikan Mesir sebagai bagian dari Eropa.
Rifa'ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis. Di sana ia tinggal selama 5 tahun (1826-1831 M). sarjana lai yang bertugas belajar di Perancis adalah Khairuddin al-Tunisia. Di Perancis ia menghabiskan waktu selama 4 tahun (1852-1856 M). setelah kembali keduanya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan dasar sekulerisme rasional.
Sejak tahun 1830 M para sarjana lulusan Eropa yang telah kembali ke negeri masing-masing mulai menerjemahkan buku-buku Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain. Penerjemahan ini bertujuan menyebarkan pemikiran Eropa yang memberontak menentang agama, yang muncul pada abad ke-18.
Cromer mendirikan Akademi victoria di Iskandariyah. Tujuannya ialah untuk medidik generasi anak-anak para pejabat, tokoh dan pembesar dengan pola Inggris agar mereka bisa menjadi alat transformasi dan penyebaran peradaban Barat di masa mendatang.
Lord Loyd, Gubernur Inggris di Mesir, ketika meresmikan akademi tersebut pada tahun 1836 mengataka, "Untuk menginggriskan mereka tidak memerlukan waktu lama, terutama jika ada 10 orang yang terpercaya diantara dosen dan mahasiswa-mahasiswanya."
Orang-orang Nashrani Syam adalah orang yang pertama kali malakukan kontak dengan para zending dan missi Kristen serta menerima kebudayaan Perancis dan Inggris. Mereka juga menggalakan sekularisme liberalistik. Mengapa demikian ? mereka tidak memiliki loyalitas kepada Daulah Utsmaniyah. Hal itu mewujud dalam kekaguman mereka terhadap Barat dan seruan mereka supaya mengekor dan mengikuti cara-cara Barat. Fenomena itu muncul pada surat-surat kabar yang mereka terbitkan.
Nashif Yazji (1800-1871 M) dan anaknya, Ibrahim Yazji (1847-1906 M) mempunyai hubungan kuat dengan para missionaris Anglikan Amerika.
Butrus Bustani (1819-1883 M) pada tahun 1863 M mendirikan sebuah sekolah bahasa Arab dan science modern. Dengan demikian ia adalah orang Masehi pertama yang menyeru kepada Arabisme dan nasionalisme. Slogan yang didengungkannya ialah, "Cinta tanah air sebagian dari iman." Ia menerbitkan sebuah harian berbahasa Arab Al-Janan pada tahun 1870 M. harian ini sempat hidup selama 16 tahun. Resminya ia menjadi penerjemah pada Konsulat Amerika di Beirut. Bersama dua orang Amerika, Smith dan Van Dyck, ia menerjemahkan Protestanisme bagi Taurat .
Tokoh lainnya ialah Jurji Zaidan (1861-1914 M), seorang pendiri majalah terkenal Al-Hilal di Mesir tahun 1892 M. Ia dikenal sebagai orang yang luas hubungannya dengan missionaris Amerika. Ia merupakan penulis roman dan novel sejarah yang penuh dusta dan membuat tuduhan palsu terhadap Islam dan ummatnya.
Sulaiman Taqla, pendiri harian Al-Ahram di Mesir. Ia merupakan anak didik Van Dyck, seorang zending Kristen di Libanon. Kemudian pada tahun 1884 harian tersebut pindah ke Mesir.
Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897 M), seorang laki-laki yang peranan-peranannya di pandang aneh. Kehidupanya penuh misteri. Ia banyak melanglang buana di dunia Islam, baik di Timur ataupun di Barat. Ia termasuk orang yang berhasil memasukkan sistem perkumpulan rahasia modern ke Mesir dan menjadi salah satu anggota perkumpulan Free Massonry. Selain itu ia juga dikenal sebagai orang yang sangat erat hubungannya dengan Mr. Blunt dari Inggris.
Tentang Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha berkata, "Ia cenderung kepada faham 'wihdatul wujud'. Sedangkan persepsinya tentang asal usul manusia ia berteori mirip dengan Darwin."
Muhammad Abduh (1849-1905 M), salah seorang murid Afghani yang paling menonjol dan pembantu dekatnya dalam mengasuh majalah Al-'Urwatu al-Wutsqa. Dia dikenal sebagai orang yang punya hubungan baik dengan Lord Cromer dan W.S. Blunt.
Aliran Muhammad Abduh, termasuk di antaranya Rasyid Ridha adalah menyeru penghantaman taqlid dan menuntut supaya hukum Islam ditinjau kembali. Dari fatwa-fatwa mereka muncul pula beberapa pendapat yang bersandar pada ta'wil terhadap nash-nash yang jauh dari batas toleransi. Tampaknya Abduh ingin menta'wil nash-nash yang dapat mendekatkan Islam dengan peradaban Barat.
Selain itu juga ia menyerukan dimasukkannya materi science modern ke Universitas Al-Azhar. Sebuah upaya mengembangkan dan memodernisasi Al-Azhar, katanya.
W.S. Blunt, seorang orientalis kenamaan yang tak asing bagi dunia Arab. Ia bersama isterinya berkeliling di dunia Arab dengan memakai pakaian Arab dan menyeru nasionalisme Arab serta mendirikan 'Khilafah' Arabiyah sebagai upaya menghancurkan persatuan Islam.
Sa'ad Zaghlul, Menteri Pendidikan Mesir tahun 1906. Ia dikenal sebagai orang yang benar-benar menerapkan ide usang Cromer. Ia juga menyerukan didirikannya Sekolah Peradilan Islam. Tujuannya ialah untuk membuat saingan Al-Azhar dalam pengembangan pemikiran Islam.
Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963 M), salah seorang tokoh pendiri partai Al-Ahrar al-Dusturiyyin (orang-orang konstitusi bebas) yang secara politis memisahkan diri dari Sa'ad Zaghlul. Ia terkenal sebagai orang yang bersemangat menyerukan fanatisme kedaerahan yang sempit. Dialah pencetus sebuah slogan yang populer pada tahun 1909 di Mesir, "Mesir untuk Mesir." Ia pernah menjadi pejabat Urusan Persatuan Mesir sejak pemerintah Mesir menyerahkannya pada tahun 1916 sampai kira-kira tahun 1941 M.
Tokoh lain yang tidak asing lagi bagi ide pembaratan di dunia Islam ialah Thaha Husen (1889-1973 M). Ia merupakan murid langsung Durkheim. Dua bukunya berjudul Al-Syi'ru al-Jahili dan Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mashr (Syair Jahiliyah dan Masa Depan Kebudayaan di Mesir) dinilai mengandung ide-ide dia yang paling berbahaya yang disebarkannya.

Dalam Al-Syi'ru al-Jahili halaman 26 ia berkata, "Taurat telah menceritakan kepada kita tentang Ibrahim dan Isma'il. Juga Al-Qur'an. Tetapi diceritakannya dua nama tersebut di dalam Taurat dan Al-Qur'an belum cukup menjadi bukti keberadaan dua tokoh tersebut secara historis."

Selanjutnya dia mengatakan, "Orang-orang Quraisy benar-benar siap menerima mitologi ini pada abad ke-8 Masehi."

Di tempat lain, dalam bukunya itu dia meniadakan mata rantai nasab Rasulullah SAW kepada pembesar-pembesar Quraisy.
Dalam satu ceramahnya tentang sastra dan bahasa, ia mengawali dengan memuji Allah dan membaca shalawat untuk Rasulullah SAW. Kemudian ia berkata, "Sebagian pendengar mungkin akan mentertawakan saya setelah mendengar ceramah ini. Karena saya mengawali ceramah ini dengan memuji Allah dan membaca shalawat untuk Rasulullah SAW. Suatu hal yang bertentangan dengan tradisi zaman modern." (Majalah Al-Hilal, edisi Oktober dan Nopember 1911 M).
Kemajuan westernisasi berkembang pesat setelah orang-orang Ittihad (Persatuan) menguasai pemerintahan Turki Utsmani dan jatuhnya Sultan Abdul Hamid pada tahun 1924 M
Kemudian pada tahun 1924 M pemerintahan Turki baru yang dipimpin Kamal Ataturk menghapus sistem khilafah Utsmaniyyah. Perubahan inilah yang menyeret Turki ke jurang sekularisme modern. Dengan keras dan kejam gerakan westernisasi dalam segala bentuknya dipaksakan di bumi Turki.
Pada tahun 1925 buku Ali Abdul al-Raziq berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukmi (Islam dan pokok-pokok pemerintahan) terbit di Mesir. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Urdu. Di dalam buku ini pengarang berusaha keras meyakinkan pembaca bahwa Islam hanyalah agama, bukan negara.
Tetapi pemikiran semacam ini tidak berrkembang di dunia Islam. Misalnya Smith menunjuk dia ketika mengatakan bahwa kebebasan sekuleristik dan internasionalisme tidak akan berkembang di dunia Islam kalau tidak ditafsirkan secara Islam yang dapat diterima.
Buku Al-Islam wa Ushul al-Hukmi telah dilarang terbit dan pengarangnya dinyatakan harus dihukum oleh ulama Al-Azhar pada tanggal 12/8-1925. Pikirannya mendapat tantangan keras dari kelompok ulama.
Ia pernah memimpin majalah Rabithah Syarqiyyah dan mengadakan upacara penganugerahan penghargaan untuk Ernest Renan di Universitas Mesir. Upacara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati seratus tahun meninggalnya orientalis tersebut. Ernest Renan adalah orientalis yang gigih menyerang orang-orang Arab dan kaum Muslimin.
Mahmud 'Azmi, salah seorang propagandis fir'aunisme terbesar do Mesir ini, belajar tentang orientalisme kepada Durkheim. Ia pernah berkata kepada Muhammad 'Azmi, "Jika Anda berbicara masalah ekonomi, maka jangan sebut-sebut syari'ah. Jika Anda membicarakan syari'ah, jangan sebut-sebut ekonomi."
Pendukung westernisasi lain ialah Manshur Fahmi (1886-1959 M). Ia pernah mengajukan disertasi doktornya kepada Levy Bruhl yang berisi serangan terhadap sistem perkawinan dalam Islam. Di dalam disertasinya itu ia berkata, "Muhammad telah membuat undang-undang untuk semua manusia. Tetapi untuk dirinya sendiri banyak perkecualiannya." Lebih lanjut dia menyatakan, "Hanya saja ia (Muhammad) telah meringankan mahar dan saksi untuk dirinya sendiri."
Tetapi pada tahun 1915 dia sendiri mengkritik gerakan westernisasi. Ia mengakui terus terang terhadap kesalahan-kesalahan pemikirannya yang telah di bawa oleh Thaha Husein bersama alirannya.
Ismail Mazhhar, salah seorang tokoh aliran westernisasi (Majalah Al-'Ushur) yang kemudian berubah menjelang masa kebangkitan modern.
Salah seorang murid Thaha Husain yang terkemuka ialah Zaki Mubarak. Ia banyak belajar kepada orang-orang orientalis. Ia pernah menulis disertasi tentang Ghazali dan Ma'mun. Dalam disertasinya itu ia menyerang Ghazali habis-habisan. Tetapi ia kemudian sadar kembali dan menulis sebuah artikel yang terkenal, sebagai kritik atas disertasinya sendiri, berjudul "Ilaika A'tadziru Ayyuha al-Ghazali." (Aku Mohon Maaf Padamu Wahai Ghozali).
Muhammad Husein Haikal (1888-1956 M), pemimpin redaksi harian "Siyasah." Ia termasuk tokoh westernisasi yang menonjol. Ia dikenal sebagai seorang yang mengingkari peristiwa Isra' dan Mi'raj, baik dengan ruh ataupun dengan jasad. Pengingkarannya itu bertolak dari pandangan rasionalistik (Hayatu Muhammad). Tetapi kemudian dia dinilai berubah sikap menjadi sangat moderat. Dalam kata pengantar buku "Fi Manzili al-Wahyi" ia mengungkapkan orientasi barunya di dalam pemikiran Islam.
Amin Khuli adalah dosen ilmu tafsir dan balaghah di universitas Mesir yang selalu mempromosikan ide-ide Thaha Husein dalam mempropagandakan pengkajian Al-Qur'an melalui pendekatan sastera murni, tanpa mengindahkan aspek keagamaan. Sepak terjangnya berjalan sampai tahun 1949 dan berakhir setelah dibongkar habis oleh Mahmud Syalthut.
Syibli Syumail (1860-1917 M) seorang penganjur sekulerisme yang menggebu-gebu dalam menyerang nilai-nilai agama dan akhlak.

PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
Pertama : Indikasi adanya ide westernisasi
Rasulullah SAW bersabda, "Kamu pasti akan mengikuti tradisi orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan ikut masuk pula."
Ibnu Khaldun berkata, "Orang kalah selalu erkeinginan mengikuti yang menang dalam segala hal; dalam berpakaian, berperilaku dan adat kebiasaannya."
Seorang orientalis Inggris H.A.R.Gibb dalam bukunya Wither Islam berkata, "Di antara fenomena penting politik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya perhatian membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik."
Dalam pembahasannya itu ia berterus terang menyatakan bahwa sasaran pembahasan ialah untuk mengetahui "Sejauh mana gerakan westernisasi ini mencapai Timur dan faktor apa saja yang menjadi penghambatnya."
Ketika Lord Allenby memasuki Al-Quds tahun 1918 ia berteriak, "Sekarang tamatlah perang."
Lawrence Brown berkata, "Ancaman hakiki terhadap peradaban Barat terkandung di dalam sistem Islam dan kemampuan expansinya, ketundukan dan dinamika ajarannya. Islam adalah satu-satunya tembok penghalang bagi kolonialisme Barat."
Munculnya berbagai imbauan yang menyerukan dunia Islam supaya mengikuti pola peradaban Barat.
Adanya penggalakan ide pembentukan pemikiran Islam yang maju, yang menjustifikasi model Barat. Tujuannya ialah menghapus keunikan karakteristik kepribadian Islam, agar kemantapan hubungan antara Barat dan dunia Islam terwujud, dan mengabdi kepada kepentingan Barat.
Bermunculannya seruan yang bersifat nasionalistik dan pengkajian sejarah kuno serta ajakan kebebasan yang dipandang sebagai asas kemajuan bangsa. Berbarengan dengan itu ditonjolkannya sistem ekonomi Barat dengan penuh pesona dan kekagumana serta diulang-ulanginya pembicaraan mengenai poligami dalam Islam, pembatasan thalaq dan ikhtilath (pencampuran) antara pria dan wanita.
Tersebarnya ide internasionalisme dan humanisme yang oleh pendukungnya dianggap sebagai jalan menuju kesatuan idiologi bagi seluruh ummat manusia yang mampu mengikis segala perbedaan agama dan etnis dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Agar bumi ini menjadi satu negara yang beragama dan berbahasa satu serta budaya sama.
Tipu daya tersebut merupakan upaya pengebiran pemikiran Islam dan mengeliminasinya dari kenyataan hidup, serta menempatkannya pada salon-salon yang dikuasai para pendukung idiologi dunia yang sedang berkuasa.
Tersebarnya idiologi nasionalisme merupakan langkah menuju westernisasi pada abad ke-19. Idiologi ini di transfer dari Eropa ke Arab, Iran, Turki, Indonesia dan India. Tujuannya untuk merobek-robek kesatuan dunia Islam dan mencingcangnya menjadi bagian-bagian kecil berdasarkan ikatan geografis. Akibatnya bermunculan negara-negara nasional berdasarkan asal-usul ras, darah dan keturunan yang sama.
Meningkatnya perhatian orang dalam membangkitkan peradaban klasik, H.A.R.Gibb berkata, "Di antara fenomena penting polotik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya perhatian untuk membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik yang berkembang pesat di berbagai negara, yang dewasa ini cukup meyibukan kaum muslimin. Perhatian dunia Islam sekarang inimasih terbatas pada kuatnya permusuhan terhadap Eropa. Tetapi di masa mendatang tidak mustahil hal itu akan memegang peranan penting di dalam memperkuat nasionalisme-nasionalisme lokal dan memperkokoh sendi-sendinya."
Rockefeller, Yahudi fanatik ini, pernah mengeluarkan dana 10 juta dolar Amerika untuk pembangunan musium peninggalan fir'aun di Mesir dan mendirikan sebuah akademi arkeologi di negeri itu.
Munculnya perhatian orang untuk mengkaji tokoh (pribadi) misterius di dalam sejarah Islam, seperti Sukhrowardi, Ibnu Rowandi dan Abu Nawas.
Louis Massignon, seorang orientalis terkenal, telah melakukan penelitian terhadap Al-Hallaj. Pada tahun 1912 hasil penelitiannya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Al-Hallaj al-Shufi al-Syahid fi al-Islam (Al-Hallaj adalah shufi syahid di dalam Islam). Kitab-kitab Al-Hallaj kemudian ditahqiq dan diedarkan secara meluas. Demikian juga kumpulan puisinya.
Munculnya perhatian di dunia Islam untuk menyebarkan dan mendukung gerakan-gerakan sesat seperti Qadianisme, Bahaisme, Chauvinisme, Fir'aunisme, Finiqisme dan Barbarisme.
Kemudian muncul pula kecenderungan untuk menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Qaramithah dan Gerakan Negro, dengan dalih bahwa semua itu merupakan gerakan kemerdekaan revolusioner di dunia Islam. Selain itu disanjung-sanjung pula pribadi-pribadi yang berbahaya seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), Amir Ali(1849-1928 M), Namiq Kamal (1840-1888 M), Abdul Haq Hamid(1851-1937 M), Taufiq Fikrat (1870-1915 M) dan Sanggulaji (1890-1943).
Kolonialisme, Orientalisme, Komunisme, Free Massonry dengan seluruh cabang-cabangnya, Zionisme dan para propagandis penyatuan agama, semuanya bersatu mendukung gerakan westernisasi. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dunia Islam menjadi berkeping-keping, menundukkannya hingga menjadi makanan yang empuk bagi mereka.
Fenomena lain ialah tersebarnya aliran-aliran yang merusak Islam seperti Freudisme, Darwinisme, Marxisme, slogan pengembangan moral (Levy Bruhl) dan pengembangan masyarakat (Durkheim). Juga berkembangnya perhatian terhadap existensialisme, sekularisme, liberalisme, pengkajian tentang tashawuf Islam, seruan nasionalisme, sukuisme dan kebangsaan. Selain itu tumbuh kecenderungan berkembangnya ide pemisahan antara agama dan negara, upaya pendangkalan agama, penyerangan terhadap Islam,wahyu, Rasul dan sejarah Islam. Kemudian lahir pula sikap ragu terhadap nilai-nilai Islam dan seruan membebaskan orisinalitas dan keunikan Islam serta menumbuhkan takut mati dan kemiskinan. Semua itu bertujuan mencabut fikrah jihad dari akal dan kalbu kaum Muslimin. Berbarengan dengan itu disebarkan pula isu bahwa penyebab kemunduran bangsa Arab dan ummat Islam adalah Islam.
Munculnya anggapan bahwa Al-Qur'an merupakan luapan akal budi disertai dengan sanjungan terhadap kejeniusan Muhammad SAW, kecemerlangan dan kebersihan jiwanya. Ini merupakan langkah awal untuk menghapus sifat kenabian yang ada pada diri Muhammad.
Kedua : Konferensi-konferensi tentang westernisasi

  1. Konferensi Baltimore, tahun 1942. Dalam konferensi ini direkomendasikan supaya digalakkan pengkajian Islam dan mengintodusir gerakan-gerakan rahasia ke dalam tubuh ummat.
  2. Tahun 1947 di Universitas Princeton, Amerika Serikat diadakan konferensi yang bertujuan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah kultural dan sosial di Timur Dekat. Hasil konferensi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan ini menduduki urutan ke 116 dari proyek pengadaan 1000 buah buku di Mesir. Dalam konferensi ini hadir antara lain T. Cuyler Young, Habib Kurani, Abdul Haq Edward dan Louis Thomas.
  3. Konferensi tentang kebudayaan Islam dan kehidupan modern di universitas Princeton pada musim panas tahun 1953 M. hadir dalam konferensi ini para pemikir seperti Mill Broze, Harold Smith, Raphael Patai, Harrold Allen, John Croswell, Syaikh Mushthafa Zarqa, Kenneth Cragg, Isytiyaq Hussein dan Fazlur Rahman dari India.
  4. Konferensi ke III direncanakan di Lahore, Pakistan tahun 1955, tetapi gagal. Rencananya akan mengikutsertakan pakar-pakar dan peneliti Muslim serta para orientalis dalam mengarahkan kajian-kajian tentang Islam.
  5. Tahun 1953 diselenggarakan konferensi gabungan Islam - Kristen di Beirut Lebanon. Kemudian di Iskandariyah, lalu berturut-turut diselenggarakan di Roma dan negara-negara lain berupa pertemuan dan seminar-seminar dengan maksud yang sama.
Ketiga : Buku-buku tentang westernisasi yang berbahaya

  1. Islam Modern History karangan W.C. Smith, derektur Institute of Islamic Studies dan guru besar ilmu perbandingan agama pada Mc. Gill Unversity Kanada. Ia meraih gelar doktor dari Princeton University tahun 1948 di bawah bimbingan orientalis terkenal H.A.R. Gibb. Ia pernah menjadi mahasiswanya ketika Smith belajar di Cambridge University. Buku ini menyerukan liberalisme, sekulerisme dan pemisahan antara agama dan negara.
  2. Wither Islam karangan H.A.R. Gibb yang diterbitkan di Libanon pada tahun 1932. Buku ini disusun bersama sejumlah orang-orang orientalis. Isinya berupa kajian penting tentang sebab-sebab terhambatnya proses westernisasi, cara mengembangkan dan mamajukannya.
  3. Protokolat hakim-hakim zionisme yang muncul di seluruh dunia tahun 1902 M. buku ini pernah dilarang masuk ke Timur Tengah dan dunia Islam sampai kira-kira tahun 1952 M, yakni beberapa tahun setelah berdirinya negara Israel di jantung dunia Arab dan Islam. Dapat dipastikan, pelarangannya itu berkaitan erat dengan pengkhidmatan Yahudi terhadap gerakan westernisasi secara umum.
  4. Buku-buku yang berisi gambaran tentang figur-figur sebagai tokoh Islam dalam bentuk usang, cabul dan palsu, seperti gambaran dalam buku Seribu Satu Malam, Harun al-Rasyid, kisah yang ditulis Jurji Zaidan. Demikian pula buku-buku yang bersandar pada mithologi klasik yang diramu ke dalam sejarah Islam seperti buku 'Ala Hamisi al-Sirah oleh Thaha Husein dan buku buku yang mengingkari kenabian dan wahyu seperti buku Muhammad Rasulu al-Hurriyah (Muhammad Rasul Pembebas) oleh Syarqawi.
AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA
Pasukan salib telah menderita kekalahan berulang kali setelah perang Hiththin. Orang-orang Turki Osmani menaklukan ibukota Bizantium dan pusat gereja mereka pada tahun 1453 M. kemudian kota tersebut dijadikan ibu kota Turki dan namanya diubah menjadi Istambul, yakni Dar al-Islam (Negara Islam).
Selain itu pasukan Islam Turki dapat sampai ke Eropa dan menggempur Wina pada tahun 1529 M. penggempuran ini berlangsung sampai tahun 1683 M. semua itu diawali dengan jatuhnya Andalusia yang dijadikan pusat pemerintahan dinasti Umawiyah.
Peristiwa-peristiwa tersebut mendorong munculnya westernisasi sebagai upaya menebus kekalahan yang mereka derita selama itu. Sedangkan kristenisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari westernisasi. Tujuan utamanya tidak lain yaitu untuk menghancurkan dunia Islam dari dalam.
Westernisasi pada hakikatnya merupakan perwujudan dari konspirasi Kristen-Zionis-Kolonialis terhadap ummat Islam. Mereka bersatu untuk mencapai tujuan bersama, yaitu membaratkan dunia Islam agar kepribadian Islam yang unik terhapus dari muka bumi ini.

PENYEBARAN DAN KAWASAN PENGARUHNYA
Gerakan westernisasi telah mampu merembes hampir di setiap negara di dunia Islam dan negara-negara Timur. Dengan diam-diam masyarakatnya terseret ke dalam peradaban Barat yang materialistik dan modern. Akibatnya mereka terikat oleh roda peradaban Barat.
Pengaruh westernisasi ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Hal itu tampak jelas di Mesir, Iraq, Palestina, Suriah, Yordania, Turki, Indonesia dan Marokko.
Gerakan ini merembes ke seluruh dunia Islam. Akibatnya tidak ada satu negeri muslim atau negeri Timur yang tidak dirembesi oleh gerakan ini.

Sabtu, 11 Juni 2011

KEGAGALAN KEPEMIMPINAN SEKULAR

Oleh: Denny Kodrat

     “Pemilu kali ini beda!” demikian bunyi spanduk besar milik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satu yang membedakan Pemilu kali ini dengan sebelumnya adalah untuk pertama kalinya pemilihan presiden secara langsung dilakukan. Harapannya, kepemimpinan nasional yang akan datang tidak hanya memiliki legitimasi secara konstitusi dan publik, tetapi juga akan dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Namun, tidak sedikit rasa skeptis dimunculkan oleh pengamat politik dan sebagian publik, mengingat aktor-aktor yang memperebutkan kursi RI-1 masih didominasi oleh wajah-wajah lama dengan bermacam track record-nya. Demokrasi-sekular juga masih tetap menjadi gaya kepemimpinan yang digulirkan oleh hampir seluruh capres yang sedang bertarung. Satu pertanyaan retoris sederhana muncul di sini, dapatkah Indonesia menjadi sebuah negara besar yang sejahtera dalam arti sesungguhnya jika sistem dan gaya kepemimpinan nasionalnya hanya mengulang para pendahulunya?

Indikator Gagalnya Kepemimpinan
Panggung politik Indonesia terus diwarnai oleh praktik kekuasaan yang hipokrit, hidonistis, dan anarkis. Para penguasa membangun hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi untuk memuaskan diri mereka dan kroni mereka sendiri dengan mengabaikan kepentingan masyarakat. Akibatnya, moralitas mereka sebagai pimpinan publik mersosot. Harga kekuasaan dapat ditukar dengan mata uang rupiah yang dibayar lewat rekening, amplop, atau langsung ke tangan para pemilik kekuasaan; atau dengan fasilitas jasa berharga. Sebaliknya, rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa kepestian masa depan. Tidak tampak tanda-tanda pembangunan masyarakat yang berbudaya dan beradab. Semua itu adalah akibat praktik kekuasaan para penguasa yang tidak lagi mempertimbangkan aspek moral, apalagi agama yang menjadi inti kearifan peradaban.
Bercermin dari negara ideal produk Rasullullah saw., indikator sebuah kepemimpinan dikatakan gagal-tidak, sebenarnya dapat dilihat dengan pendekatan sederhana. Kepemimpinan dipandang gagal ketika negara tidak mampu memenuhi dan menjamin hak-hak warga negaranya—seperti pekerjaan, pendidikan, perumahan, dan hak dasar hidup manusia semisal sandang dan pangan; menegakkan supremasi hukum sehingga tidak terwujud apa yang disebut sebagai clean government dan  good governance. Demikian pula sebaliknya.
Semasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Indonesia mendapatkan suntikan dana sebesar 300.000 dolar AS dari UNDP (United Nations Development Program) untuk menciptakan good governance (Cides online). Namun, tentu saja, konsep sebuah good governance disesuaikan dengan keinginan UNDP. Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan lembaga PBB untuk program pembangunan Januari 1997 ini, pemerintahan dikatakan baik apabila ia dapat mensinergikan pihak swasta, pemerintah, dan masyarakat dalam pengaturan negara. Bisa saja, sektor publik, seperti pendidikan, yang asalnya merupakan tanggung jawab pemerintah, dilimpahkan ke pihak swasta. Dari sinilah kemudian muncul istilah “swastanisasi pendidikan”. Dana besar UNDP tersebut ternyata tidak mampu menciptakan pemerintahan yang baik pada masa Wahid. Justru, wibawa Pemerintah ambruk didera kasus korupsi, salah satunya adalah kasus dana Bulog yang melibatkan Wahid sendiri.
Dapat dicermati bahwa korupsi menjadi masalah akut dalam kepemimpinan negeri ini. Parahnya lagi, kasus korupsi ini banyak menyeret para pejabat publik.
Masalah berikutnya adalah tarik-menarik dalam memperebutkan kekuasaan. Aliansi-aliansi politik yang dilakukan para elit untuk mencapai kursi kekuasaan tidak lagi menghiraukan platform dan ideologi. Elit dari parpol sekular dapat dengan mudah menggandeng pimpinan parpol Islam dengan tujuan mendapatkan dukungan dan memenangkan kursi RI-1, tanpa pernah menghiraukan pro-kontra konstituennya. Partai pemenang pada Pemilu Legislatif tetapi kalah dalam Pemilu Presiden terus merongrong eksekutif. Terjadilah kisruh di kabinet dan parlemen dan rakyatlah yang menjadi korban karena hak-haknya tidak terpenuhi.
Publik tidak hanya dilelahkan oleh kekisruhan di tingkat elit politik, namun juga ditekan oleh kebijakan pemerintah di sektor publik yang tidak “ramah kondisi” berupa, misalnya, terus melambungnya harga-harga pangan, BBM, pendidikan, telepon, pajak, dll. Hasilnya, kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan tingkat kriminalitas meninggi. Bagi daerah-daerah tertentu yang kaya tetapi merasa dieksploitasi akhirnya memilih memisahkan diri. Situasi inilah yang akhirnya menciptakan kondisi “masyarakat sakit” sebagai akibat tidak beresnya manajemen kepemimpinan.
Kondisi seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan menimpa sebagian besar negeri-negeri Islam. Hampir semua negara tersebut memiliki karakteristik masalah yang sama, yaitu krisis kepemimpinan yang memicu masalah politik dalam negeri dan korupsi. Sebut saja Arab Saudi, yang sering dijadikan representasi sebagai “negara Islam” yang paling kaya dan makmur, yang tengah menghadapi krisis politik dan ekonomi. Sekitar 500 orang warga Saudi melakukan aksi unjuk rasa menuntut reformasi di bidang politik pada penghujung tahun 2003. Unjuk rasa ini semakin membuka adanya konflik vertikal antaranggota keluarga Kerajaan. Pangeran Abdullah yang menggantikan Raja Fahd—karena terserang stroke—tidak mendapatkan dukungan politik dari saudara-saudaranya yang lain. Akibatnya, pemerintahan Saudi secara politis mengalami stagnansi. Belum selesai mencairkan ketegangan politik di dalam negeri, datang masalah dari Newsweek yang mengaitkan keterlibatan anggota Kerajaan Saudi dengan jaringan al-Qaeda.
Kondisi perekonomian Saudi pun sedang berguncang. Kekuatan ekonomi Saudi yang dulu Gross Domestic Product-nya menyamai AS sebesar 20.000 poundsterling, sekarang jatuh ke kisaran 5000 poundsterling. Pengamat ekonomi memprediksi negara Saudi tidak akan memiliki pengaruh dan kekuatan di sektor ekonomi; Israel akan menggantikan posisi Saudi.

Penyebab Kegagalan Kepemimpinan
Jika ditelaah lebih mendalam, setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan gagalnya kepemimpinan khususnya di Indonesia. Pertama, person (individu) yang memegang kendali kepemimpinan tersebut. Sangat mungkin, stagnannya negara ini karena dipimpin oleh individu yang tidak qualified memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Sosok otoriter, anti kritik, hipokrit, arogan, tamak, tidak amanah, lemah (bersedia dikooptasi oleh negara asing), dan tentunya kedap terhadap kondisi rakyat yang dipimpinnya mungkin sudah pernah memimpin bangsa ini. Konsekuensinya keterpurukkan dan kecarutmarutan terjadi di sana sini. Memang, pada akhirnya wajar jika kebanyakan masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang salih secara individu, bersih dan memiliki karakter kuat dalam memimpin (strong leadership). Alasannya, tidak mungkin korupsi diberantas oleh seorang koruptor; hanya orang bersih dan kuatlah yang mampu memberantas tindak korupsi, terutama di kabinet dan departmennya. Akan tetapi, jika korupsi dan segala bentuk penyelewengan hanya dapat diberantas oleh seorang individu bersih an sich, tanpa melibatkan perubahan dan dukungan yang lain, semisal sistem-ideologi masyarakat, tampaknya pendapat ini perlu uji terlebih dulu. Namun demikian, sikap terpuji seorang pemimpin seperti rifq (lemah lembut dan santun), mubasyyir (penggembira), dan amanah secara langsung akan menumbuhkan sikap percaya  masyarakat.
Kedua, sistem (sekular) yang diterapkan. Inilah yang sesungguhnya berkonstribusi secara penuh terhadap gagal-tidaknya sebuah kepemimpinan. Jika pemimpinnya orang bersih dan salih, namun ia menjalankan sistem yang rusak, tentu hasilnya pun akan rusak pula. Persis ibarat seorang arsitek bangunan yang sangat ahli dan pandai, namun ia harus menggunakan barang-barang kontruksi yang sudah sangat tua dan rapuh. Karena itu, orang yang qualified dan bersih tetapi menjalankan sistem sekular yang rusak adalah ibarat a good man in a wrong place. Sistem sekularlah yang banyak menghasilkan kebijakan yang merugikan publik. Jangankan untuk negeri-negeri Muslim, yang secara fitrah dan fikrah sudah jelas bertentangan, di negara asalnya saja, AS dan Barat, kebijakan sistem sekular ini hanya mengakomodasi kalangan borjuasi dan kapitalis. Kalangan kelas bawah tetap hidup dalam kesengsaraan. Singkatnya, kebijakan publik tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang. Oleh karenanya, di AS muncul istilah, “The golden rule of democracy is those who have golds are ruler! (Aturan emas demokrasi adalah siapa saja yang punya emas (uang) dialah penguasa).”
Sistem sekular-lah yang sudah mengubah cara pandang seorang pemimpin nasional terhadap politik. Praktik kekuasaan untuk mengeruk uanglah yang ditonjolkan dalam berpolitik. Tidak aneh apabila banyak alokasi dana untuk publik bocor di tengah jalan karena dimanipulasi. Sistem sekularlah yang sudah lebih dari setengah abad mewarnai gaya kepemimpinan nasional Indonesia. Hasilnya, meski sudah lima presiden yang menahkodai Indonesia, adalah sama: korupsi, kolusi, kemiskinan, dan keterpurukkan di berbagai sektor tetap menjadi bagian integral dari wajah Indonesia.
Terakhir, ketergantungan terhadap negara asing. Indonesia mendapat dana pinjaman sebesar 3,4 miliar dari CGI untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, upaya ini lagi-lagi mengalami stagnansi; bukan saja terjadi kebocoran, namun juga semakin bertambahnya utang luar negeri Indonesia. Kemiskinan alih-alih dapat ditekan, malah semakin tinggi. Jika pendapatan penduduk Indonesia yang di bawah 2 dolar perhari menjadi standar kemiskinan, maka saat ini tingkat kemiskinan mencapai 53%. Untuk membayar berbagai macam cicilan luar negeri ini, Indonesia harus memangkas habis berbagai macam pos pendapatan, dan itupun masih kurang. Akhirnya, untuk menutupi kekurangan dana (defisit), pinjaman dari negara lain digunakan kembali untuk membiayai berbagai macam pengeluaran, termasuk pembayaran utang. Mudah ditebak, karena pemerintah sangat begitu tergantung pada pinjaman luar, otomatis intervensi negara donor akan sangat besar. Karena itu, tidak mengherankan apabila banyak kebijakan publik di berbagai bidang merupakan “pesanan” dari luar. Jika kondisi sudah seperti ini, wibawa seorang pemimpin yang seharusnya independen, mandiri, kuat, dan tidak menjadi alat negara asing akan hancur dengan sendirinya, baik di mata warganya, apalagi di mata sang Khalik.
Dalam konteks kekinian, untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan mampu mensejahterakan rakyatnya—dalam arti sesungguhnya—dibutuhkan perubahan terhadap tiga faktor di atas. Individu yang akan memimpin harus dipastikan kemuslimannya dan kapabilitasnya; benar-benar memiliki ketangguhan, kekonsistenan, dan kekuatan dalam memimpin. Sistem yang harus diterapkan adalah sistem yang nyata-nyata bersih (Islam), tunduk pada aturan ilahiah dan sesuai fitrah manusia; tentu saja dukungan dari komponen masyarakat berupa ketaatan dan muhâsabah (kontrol) yang menjadi pilar penjaga sistem harus ada. Terakhir, independent, dalam arti, tidak dapat diintervensi dan didominasi oleh negara asing.
Jika ketiganya tidak dapat terwujud, kepemimpinan kuat dan berwibawa yang mampu membawa negara ke arah yang baik masih akan menjadi sebatas wacana dan angan-angan semata. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Denny Kodrat adalah Pengamat Dunia Islam, tinggal di Bandung.



           

 

JANGAN TAKUT Menyuarakan Syariat Islam


          Setelah sekian lama harapan melayang tanpa kepastian, akhir-akhir ini rakyat Indonesia seolah-olah mendapat 'angin segar' bagi penyelesaian persoalan yang ada. Partai-Partai yang berbasis massa Islam dan yang berasaskan Islam telah banyak menempatkan kader-kadernya duduk dalam lembaga legislatif, baik di daerah maupun di pusat. Sebut saja PBB, PPP, dan PKS. Bukan hanya itu saja, calon presiden [SBY-JK] yang didukung oleh partai-partai Islam [PBB dan PKS] juga mendulang kemenangan. Artinya, secara politis sebenarnya partai-partai Islam sedang berada 'di atas angin'. Dengan demikian, seharusnya seruan formalisasi syariat Islam—yang sejatinya disuarakan partai-partai Islam—lebih dipertajam lagi; bukan hanya dalam lingkup lembaga legislatif, tetapi menyebar meluas ke lembaga-lembaga atau perangkat-perangkat eksekutif.
Namun sayang, saat perhelatan akbar pertama bersidangnya wakil-wakil rakyat di MPR, ternyata kader-kader partai yang katanya 'berasaskan dan berbasis massa Islam' tidak dengan lantang menyuarakan syariat Islam. Yang terjadi sebaliknya. Tatkala ditanya ketegasannya oleh dua orang wakil rakyat dari F-PG (Nusron Wahid) dan dari F-PDIP (Arya Bima) tentang kemungkinan Perubahan Pasal 29 UUD 1945 itu, dengan nada defensif apologetic, pimpinan terpilih MPR, misalnya, menjawab bahwa kekhawatiran akan adanya perubahan Pasal 29 adalah berlebihan; mengingat pasal tersebut telah dibahas, dan Mahkamah Konstitusi juga telah membahasnya. Menurutnya, kita akan terus menaati undang-undang untuk melaksanakan tujuan beragama yang menghasilkan persatuan dan kesatuan nasional. Pasal 29 UUD 1945 harus diamalkan dalam kehidupan beragama. Agama yang baik, katanya, adalah yang menghadirkan perilaku bermartabat, membawa masyarakat berdaulat, dan itu merupakan ajaran seluruh agama.
Statemen tersebut sungguh disayangkan muncul dari kader dan atau partai Islam. Seharusnya yang muncul adalah suara lantang dan tegas tanpa ada 'ketakutan' sedikitpun mengatakan bahwa saat ini sudah selayaknya syariat Islam diterapkan untuk menyelesaikan problematika yang ada. Sebab, secara syar‘i dan logis memang syariat Islam adalah satu-satunya solusi bagi masalah yang ada saat ini.
Jika orang-orang dan partai-partai sekuler saja berani menyerukan hukum-hukum sekuler, mengapa kita tidak berani menyuarakan syariat Islam? Jika mereka lantang menentang formalisasi syariat Islam, mengapa kita tidak lantang menentang hukum-hukum sekuler yang notabene kufur? Bukankah para penentang Islam sendiri secara tegas menolak UU Sisdiknas yang mewajibkan bagi setiap sekolah untuk menyediakan guru agama sesuai dengan agama anak didiknya? Bukankah mereka juga secara lantang menentang undang-udang pornografi dan pornoaksi? Lalu, kapan kita lantang menyuarakan syariat Islam, jika tidak sekarang? [MA]  

ANTARA JIHAD (FUTUHAT) DAN IMPERIALISME


 Salah satu upaya , melestarikan imperialisme Barat di dunia Islam, adalah dengan memadamkan api jihad di tengah-tengah kaum muslim. Negara-negara imperilias itu sangat sadar , bahwa jihad yang dilakukan oleh kaum muslim di seluruh dunia, jelas akan membahayakan status quo mereka sebagai negara yang mendominasi dan merampok dunia saat ini.

Berbagai cara kemudian dilakukan untuk itu. Baik secara halus atau kasar, mempelintir dalil-dalil Qur’an, sampai melakukan penghinaan dan  pemutar balikan fakta. Upaya pemilintiran makna jihad antara lain dengan mengatakan jihad dalam Islam bersifat defensif (bertahan), bukan ofensif. Mereka juga memanfaatkan ulama-ulama yang dikesankan bijak dan alim dengan mengatakan yang terpenting adalah jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad akbar, dibanding dengan jihad dalam pengertian perang.

Termasuk juga memperluas makna jihad dengan mengambil makna bahasanya. Muncul pula istilah-istilah yang sebelumnya tidak dikenal dikalangan Rosulullah dan salafussholeh, seperti jihad pembangunan, jihad politik, jihad ekonomi, jihad pendidikan dan lain-lain. Semua itu bermuara pada direduksinya makna jihad dalam pengertian yang sesungguhnya , yakni perang.

Tidak berhenti disana, jihad pun diputarbalikkan dengan makna-makna yang jelek. Jihad kemudian diidentikkan dengan terorisme, fundamentalisme, bar-bar dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Tindakan pejuang Palestina, Irak, Chechnya, Moro, Pattani, yang dijajah terutama oleh negara-negara imperilias disebut dengan tindakan teroris dan militan barbar.

Disisi lain, apa yang dilakukan AS dan negara-negara imperialis lainnya dicitrakan sebagai tindakan yang baik. AS dan Inggris menyerang Irak, Afghanistan disebut sebagai tindakan pembebasan, penegakan demokrasi dan HAM.

Adapula yang mengatakan sebenarnya tidak ada bedanya antara imperiliasme dan jihad (futuhat) dalam Islam. Kedua-duanya menggunakan kekerasaan , menumpahkan darah, merampok, dan merampas dan mengeksploitasi negara yang dijajahnya. Dalam persfektif ini, kemudian mereka menuduh agama juga sebagai sumber konflik dan kekacaauan di dunia. Mereka kemudian menyerukan ide-ide humanis , seperti perdamaian. Benarkah demikian ?


Penggunaan Kekerasaan oleh Negara

Bisa dipastikan tidak ada satu negara besar yang berbasis ideologipun didunia ini yang tidak menggunakan kekerasaan dalam meraih tujuan-tujuannya. Sebut saja misalkan AS sebagai negara Kapitalis terkemuka di dunia. Dalam prakteknya menggunakan kekerasaan untuk penyebarluasan ide-ide Kapitalismenya dan mencapai kepentingan nasionalnya.

Negara-negera yang berbasis ideologi sosialisme dan komunisme, juga melakukan hal yang sama. Sejarah telah mencatat bagaiman Rusia saat perang dingin melakukan pembantaian bukan hanya di negaranya, tapi hampir diseluruh dunia.

Memang penggunaan kekerasaan tidak bisa dihilangkan. Mengingat dunia pastilah terdiri dari berbagai macam pemikiran, ideologi, atau kepentingan. Saat satu negara ingin menyampaikan ideologinya atau kepentingannya, pastilah terjadi perlawanan dari pihak lain yang juga memiliki kepentingan. Manusia juga tidak semuanya baik dan tidak semuannya bisa disadarkan dengan kata-kata. Sebuah negarapun terkadang harus menggunakan kekerasaan untuk menghentikan atau mencegah tindakan kejahatan negara lain.

Tinggal persoalannya, atas dasar apa kekerasaan itu digunakan, tujuannya apa,dan bagaimana caranya. Inilah yang membedakan penggunaan kekerasaan oleh negara-negera ideologis tersebut. Dalam hal ini sebuah ideologi akan sangat mempengaruhi bagaimana penggunaan kekerasan tersebut dilakukan. Jadi meskipun Negara Islam dan Negara Kapitalis sama-sama menggunakan kekerasan, tapi ada perbedaan mendasar antara Islam dan Imperialis tersebut.


Motif dan Tujuan

Jihad bermotifkan keinginan untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Kemurnian motif ini  menjadi penentu , apakah seseorang diterima amal jihadnya atau   tidak. Karena, itu jihad yang benar, yang ikhlas karena semata-mata menjalankan perintah Allah, akan menyampingkan dominasi hawa nafsu manusia yang cendrung pada kerusakan.

Islam bersumber dari Allah SWT yang menciptakan alam semesta, yang Ar-Rohman, ar Rohim. Karena itu, pastilah penerapan ideologi Islam, akan memberikan kebaikan pada setiap manusia (lihat QS al-Anbiyâ’ [21]: 107 ).

Rahmat tersebut sesungguhnya akan terwujud dengan penerapan hukum-hukum Islam. Karena itu, ideologi Islam yang sesuai dengan fitrah dan memuaskan akal manusia, akan memberikan kebaikan kepada seluruh umat manusia.


 Sementara ideologi Kapitalisme bermotifkan keserakahan manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Tidak mengherankan kalau imperialisme membawa bencana bagi manusia.

Karena itu tujuan jihad, tidak ada hubungan dengan keinginan untuk merampas dan mengekploitasai bangsa lain, mendapatkan kedudukan untuk mendominasi manusia lain, atau untuk menindas bangsa lain. Tidak ada sama sekali. Tujuan jihad adalah semata-mata untuk menyebarluaskan Islam keseluruh penjuru dunia sehingga Islam sebagai agama yang membawa kebaikan pada setiap manusia bisa dirasakan oleh siapapun tanpa ada yang menghalangi.

Allah SWT telah menjelaskan beberapa tujuan dari jihad di dalam Al Qur'an : (1)  Meninggikan kalimat Allah dan melenyapkan segala macam fitnah (kekufuran) . Allah SWT berfirman :
" Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan adalah agama bagi Allah semata-mata" (QS Al Baqoroh [2]:193).

(2) Menghilangkan kezaliman yang menimpa umat Islam. Allah SWT berfirman
" Diizinkan bagi orang-orang yang diperangi  (untuk berperang) karena mereka dianiya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka " (QS al Hajj [22]:39)

(3) Menggentarkan musuh Allah dan siap saja yang berada dibelakang musuh, hingga mereka tunduk kepada Islam. Allah SWT berfirman:
" Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalina sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambatkan (untuk persiapan perang) yang dengan itu kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian…" (Al Anfal [8]60)

Beda halnya dengan tujuan ideologi Kapitalisme, karena didorong oleh keserakan manusia, adalah untuk merampas kekayaan alam negeri yang dijajah, mendominasi, dan menindas manusia-manusia yang ada di dalamnya. Motif Imperialisme/kolonialisme AS tidak bisa dipisahkan dari ideologi Kapitalisme yang diusung oleh negara itu.

Penjajahan sendiri merupakan stragegi kebijakan luar negeri yang sering ditempuh oleh negara-negara Kapitalis Imperialisme, kolonialisme, atau penjajahan telah dijadikan oleh negara-negara Kapitalis termasuk AS untuk membuka peluang baru bagi penanaman modal, menemukan pasar baru bagi kelebihan produksi yang tidak dapat dijual di dalam negeri , serta untuk mengamankan pemasukan bahan baku murah untuk kelanjutan proses produksi dalam negeri. Imperialisme ini kemudian menimbulkan hubungan superior dan inferior, dimana negara-negara Kapitalis menganggap mereka merupakan Tuan sementara negara lain adalah budak yang harus tunduk apapun perintah Tuan-nya.


Perbedaan Cara

Motif dan tujuan yang berbeda tentu saja melahirkan cara yang berbeda pula. Motif dan tujuan yang didasarkan pada keserakahan hawa nafsu manusia seperti dalam ideologi Kapitalisme, telah membuat ideologi ini menganut menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Bagi negara penganut ideologi kapitalisme penipuan, kebohongan, sampai pembantaian umat manusia adalah sah-sah saja , dalam rangka mencapai tujuannya. Tidaklah mengherankan kalau sejarah Kapitalisme-imperialisme dunia, diisi dengan dengan darah dan air mata dari negara yang dijajah.

Dalam sejarah kolonialisasi, tidak terhitung berapa korban dari wilayah yang dijajah . Perang dunia pertama dan kedua saja memakan jutaan jiwa dan penderitaan bagi mereka yang masih hidup. Dua bom atom yang dijatuhkan di Jepang membunuh lebih dari tiga juta jiwa rakyat sipil. Perang dingin dan Perang melawan terorisme yang dipimpin oleh AS juga telah menimbulkan banyak korban rakyat sipil. Dalam perang Vietnam Mereka menumpahkan 12 juta galon Agen Orange, menghancurkan 4,5 juta hektar tumbuhan dan menewaskan banyak rakyat sipil. Ribuan kaum muslim di Irak dan Afghanistan dibunuh atas dasar perang melawan terorisme yang penuh kebohongan. Embargo yang disponsori oleh AS telah membunuh lebih dari 1,5 juta rakyat Irak yang tak berdosa.

Dan semua itu dipandang enteng oleh negara-negara imperilias tersebut . Lihat saja saat Collin Powel ketika ditanya tentang terbunuhnya lebih kurang 200.000 rakyat Irak dalam Perang Teluk di era Bush Senior dulu, dengan enteng menjawab tidak begitu peduli dengan angka-angka itu. .  Sementara Madeleine Albright (Menlu AS era Clinton) oleh koresponde CBS tentang jumlah korban rakyat Irak yang mencapai 800.000 orang akibat embargo PBB. Jawaban Albrigt sama kejamnya, “We think the  price worth itu,” (Kami kira itulah harga yang pantas untuk itu).” Jadi, membunuh ratusan ribu nyawa kaum Muslim adalah harga yang pantas demi kejayaan kapitalisme yang rakus. Hal yang sama diungkap oleh Rumsfeld , dengan kata-katanya : ‘free people have the right to do bad things and commit crimes, Artinya bagi negara-negara yang menganut kebebesan tersebut, apapun menjadi sah untuk dilakukan bahkan untuk melalukan tindakan kriminalitas.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam , yang menjalankan perangnya atas dasar petunjuk Allah SWT. Ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum perang, yakni mengajak mereka terlebih dahulu mememeluk Islam. Kalau tidak mau mereka ditawarkan masuk dalam kekuasaan khilafah  seraya membayar jizyah, meskipun mereka tetap pada agama mereka. Walhasil, dalam Islam perang merupakan pilihan terakhir.

Perang Islam juga bukanlah perang yang barbar.  Perang dalam rangka futuhat bukanlah untuk memerangi rakyat setempat. Akan tetapi untuk menghilangkan penghalang-penghalang fisik termasuk penguasa dzolim mereka yang menghalangi diterima Islam secara lapang dan jujur. Dalam perang itu, Islam melarang membunuh orang-orang yang bukan termasauk tentara perang seperti anak-anak kecil , wanita, orang tua dan para rahib di gereja-gereja. Tawanan perang juga diperlakukan dengan baik.

Adapun penggunaan senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir dan senjata kimia, hanya digunakan kalau musuh menggunakan senjata yang serupa. Sebab dalam Islam musuh harus diperlakukan setimpal.(lihat QS An Nahl [16]:126)

Fakta Yang Terbantahkan

Perbedaan motif, tujuan, dan cara nya , juga tentu saja memberikan hasil yang berbeda pula bagi manusia. Jihad yang dilakukan Islam , telah memberikan kebaikan kepada setiap manusia. Penerapan aturan Islam yang adil kepada masyarakat yang ditaklukkan, membuat mereka (yang ditaklukkan) tidak pernah merasa berbeda dengan yang menaklukkan mereka. Sebab, Daulah Khilafah Islam, memberikan jaminan kebutuhan pokok, kesejahteraan, dan keamanan yang sama bagi seluruh warganya. Tanpa melihat apakah dia merupakan rakyat yang ditalklukkan atau tidak. Mereka sama-sama hidup sejahtera dibawah naungan Islam.

Penerapan hukum Islam akan menjamin kebutuhan pokok dan  keamanan warganya, Islam juga menjamin pendidikan yang gratis bagi seluruh warga negara, kesehatan yang gratis, dan perlakuan penerapan hukum yang sama. Tanpa memandang dari suku, kelompok, bangsa atau agamanya apa dia berasal.

Rosulullah sendiri sangat memperhatikan perlakuan terhadap ahlu dzimmah ini  agar mereka tidak disakiti dan dizholimi. Dalam haditsnya Rosullah bersabda : " Barang siapa yang  menyakiti ahlul dzimmah (warga daulah Islam non muslim), maka aku akan menjdi penentangnya. Dan barang siapa membuat perjanjian diluar kemampuannya, maka aku akan menjadi penentangnya di hari kiamat".

Rosulullah melarang merusak tempat-tempat ibadah non muslim. Persamaan di depan hukum sangat tampak jelas dari pernyataan Rosulullah yang menyatakan akan memotong tangan pencuri meskipun itu adalah anaknya sendiri.  Hal ini dipraktekkan oleh kepala negara (kholifah ) setelahnya. Sangat populer praktek keadilan Islam seperti diriwayatkan bagaimana seorang Yahudi dibebaskan dari tuduhan mencuri di pengadilan Islam karena tidak cukup bukti. Padahal yang memperkarakannya adalah pemimpin negara Islam sekaligus sahabat Rosulullah yang agung , Kholifah Ali bin Abi Thalib.
Umar bin Khottab, saat menjadi Kholifah, pernah membebaskan tanah milik orang Yahudi yang dirampas untuk dibangun masjid. Kholifah menyuruh agar masjid itu dirubuhkan dan tanahnya dikembalikan kepada yahudi. Dia juga pernah membebaskan seorang Yahudi tua yang tidak sanggup lagi membayar jizyah (bayaran yang diberikan warga non muslim kepada negara) karena memang tidak mampu. Bahkan Kholifah menyuruh bendahara Baitul Mal (lembaga keuangan negara) untuk menyantuni yahudi tersebut. Perlu dicatat , bahwa fakta kebaikan ini bukankah semata-mata karena keluhuran pemimpin secara individu, tapi memang mereka menerapkan atauran Islam tentang hukum-hukum kepada ahlul dzimmah (warga non muslim).

Rakyat yang negeri nya ditaklukkan oleh Islampun, tidak pernah menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi , mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya , dan menjadi pembela Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, Bosnia, menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan pejuang-pejuang Islam yang membela agamanya. Kalau Islam dianggap penjajah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkannnya ?  

Berbeda halnya dengan penjajahan negara-negara Imperialis. Hampir sebagian besar rakyatnya menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapanpun, akan menganggap Belanda dan Jepang sebagai  penjajah. Rakyat Mesir akan abadi menganggap Inggris sebagai penjajah. Itali pun sampai sekarang tetap dianggap penjajah oleh rakyat Libya. Apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan sekarang adalah bukti yang nyata,  meskipun mereka tidak setuju terhadap rezim sebelumnya yang lalim seperti Saddam Husain, tapi bukan berarti mereka menerima Amerika Serikat. Negara Super Power ini , tetap saja dianggap sebagai penjajah. Anggapan yang bukan tanpa alasan, tapi memang didukung oleh fakta-fakta kekejaman negara itu.

Kalaupun ada yang gembira dengan kedatangan penjajah tersebut,jumlah mereka sangat sedikit. Mereka pada umumnya adalah pengkhianat yang hanya menginginkan kesenangan harta dan kekuasaan.


Syariat Islam yang ingin diterapkan jelas bukan hanya simbol atau kulitnya saja, tapi benar-benar secara keseluruhan. Dengan demikian Islam sebagai rahmat bagi semua akan terwujud. Seperti pengakuan  Phillip Hitti dalam Short History of The Arab  tentang sumbangan orang-orang Arab (Islam) bagi kemajuan manusia : "During all the  first part of the Middle Age, no other people made as  important a contribution to human progress as did the Arabs…." Hal yang sama dinyatakan oleh Carleton, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 M hingga 1600 M, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adidaya (super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera lain; dari iklim Utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku.” (“Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next”).
  




  


ABORSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM


   Ustadz yang terhormat, saya ingin bertanya. Apa hukumnya aborsi dalam pandangan Islam? Jika boleh, saat kapan kita bisa melakukan aborsi? Soalnya ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sejak sel sperma ketemu dengan ovum (sel telur), hukum aborsi haram. Tetapi ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sebelum 40 hari, hukum aborsi mubah. Yang mana yang benar? Mohon penjelasannya.

Jawab: Pendahuluan
Pertama-tama harus dideklarasikan bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi, dalam masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah membuktikannya. Di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease Control (FCDC) dan Alan Guttmacher Institute (AGI), telah mengumpulkan data aborsi yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika -- yaitu hampir 2 juta jiwa -- lebih banyak dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang mana pun dalam sejarah negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang Amerika Serikat dari tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea 54.246 jiwa, Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War (Perang Sipil) 498.332 jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabungkan sekaligus (http://www.genetik2000.com/).

Data tersebut ternyata sejalan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain, sah-sah saja dilakukan. Mereka beralasan toh orang lain melakukan hal yang serupa dan semua orang melakukannya (James Patterson dan Peter Kim, 1991, The Day America Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud Al Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, 1995, hal. 19).
Bagaimana di Indonesia? Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sayang sekali ada gejala-gejala memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi jumlahnya juga cukup signifikan. Memang frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di rumah sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu (Aborsi.net). Pada 9 Mei 2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (waktu itu) Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dalam Seminar “Upaya Cegah Tangkal terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan” yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim di FISIP Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, “Angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend meningkat.” (www.indokini.com). Ginekolog dan Konsultan Seks, dr. Boyke Dian Nugraha, dalam seminar “Pendidikan Seks bagi Mahasiswa” di Universitas Nasional Jakarta, akhir bulan April 2001 lalu menyatakan, setiap tahun terjadi 750.000 sampai 1,5 juta aborsi di Indonesia (www.suarapembaruan.com).

Dan ternyata pula, data tersebut selaras dengan data-data pergaulan bebas di Indonesia yang mencerminkan dianutnya nilai-nilai kebebasan yang sekularistik. Mengutip hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta mengungkapkan ada 42 % remaja yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 % di antaranya masih aktif menjalaninya. Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13 hingga 20 tahun. Kebanyakan dari mereka (60 %) adalah wanita. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta Selatan (www.kompas.com).
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari paham sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (Abdul Qadim Zallum, 1998).

Terlepas dari masalah ini, hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Qs. al-Ahzab [33]: 36).
Sekilas Fakta Aborsi
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999) (www.jender.or.id) Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut: “Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh (Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260).
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1.Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
2.Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis
3.Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum

Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa (www.genetik2000.com).

Pelaksanaan aborsi adalah sebagai berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung dari besar kecilnya janinnya.
1.      Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/ Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).
2.      Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
3.      Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung disuntikkan ke dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan, kulitnya terbakar, lalu mati.
4.      Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya.
5.      Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa (www.genetik2000.com).
Dengan berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain:
1.      Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau tanggung jawab yang lain (75%)
2.      Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3.      Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.
Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.
Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita, yang hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com).
Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu, atau gengsi (www.genetik2000.com).
Aborsi Menurut Hukum Islam
Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam [6]: 151).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra` [17]: 31).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra` [17]: 33).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan...” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda: “(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam...”
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma'shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah Saw bersabda :
“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan...” [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a.] (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah Saw telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepa¬danya:

“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].

Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32) .

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima

“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.
Kesimpulan

Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Wallahu a’lam [M. Shiddiq al-Jawi]
Referensi:
1.      Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp
Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta
2.      Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Sa’adiyah Putera, Jakarta
3.      Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta
4.      Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya
5.      Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Al-Izzah, Bangil
6.      Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta
(http://www.hayatulislam.net)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grocery Coupons