Photobucket

Minggu, 08 Mei 2011

Murjia'ah



Murjiah secara bahasa  memiliki arti : Angan-angan, takut ,mengakhirkan, memberi, mengharap.
 Firman Allah  dalam surat  An nisa’ :104 : "Sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka ".
Dan firman-Nya dalam Surat Nuh :13 : "Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah ".
Kata Roja’ mempunyai arti takut yaitu apabila  lafadz Roja’ bersama dengan huruf  nafi. Adapun  Irja’ yang mempunyai arti  takhir (mengakhirkan ) sebagaimana dalam firman-Nya surat Al a’rof :111 yang dibaca arji’hu yaitu akhirhu. ( Firoq muashiroh Juz II hal 745 )

            Secara istilah para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan dalam mengartikan  Murjiah, secara ringkas  Murjiah adalah   :
1. Irja diambil dari kata bahasa  yang berarti  “takhir dan  imhal “ (mengakhirkan dan meremehkan ). Irja semacam ini adalah irja (mengakhirkan)  amal dalam derajat iman  serta menempatkannya pada posisi kedua  berdasarkan iman,  dia bukan menjadi sebagian  iman,  karena iman secara majaz tercakup didalamnya  amal. Padahal amal itu sebenarnya adalah sebagai pembenar dari iman sebagaimana yang telah diucapkan  kepada  orang–orang yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat itu tidak bisa membahahayakan keimanan sebagaina  ketaatan tidak bermanfaat bagi orang kafir.
Pengertian seperti  ini tercakup juga didalamnya orang-orang yang mengakhirkan amal dari niat dan tashdiq ( pembenaran ) .
2. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud  dengan “Irja“  adalah  mengakhirkan hukuman kepada pelaku dosa besar sampai hari kiamat  yang mana dia tidak akan diberi balasan dengan hukuman  apapun ketika masih di dunia.
3. Sebagian mereka  ada yang  mengartikan  “Irja“ dengan perkara yang terjadi pada Ali, yang mana Ali,  diposisiskan  pada peringkat keempat dalam tingkatan sahabat. Atau mengakhirkan  urusan Ali  dan Utsman  kepada  Allah  serta tidak  menyatakan bahwa mereka berdua beriman atau kafir, sebagian orang murjiah ada yang tidak memasukkan sebagian sahabat yang  berlepas diri dari fitnah yang terjadi diantara sahabat Ali dan Muawiyah dalam pengertian Irja ini . ( Firoq muashiroh Juz II hal 745 )
Sejarah munculnya Murjiah
            Pada awalnya Irja  muncul untuk mengcounter  paham khowarij yang mengkafirkan hakamain [dua orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan  Muawiyah] juga untuk mengcounter Ali bin Abi Tholib,   Irja  semacam ini  bukanlah Irja yang bersangkutan dengan  iman. Mereka  ini hanya membicarakn tentang  perkara dua kelompok yang berperang diantara para sahabat saja.
            Dan orang yang pertama  kali berbicara dalam  masalah Irja adalah  Al Hasan bin Muhammad bin Hanifah, beliau meninggal pada tahun 99 H,  dan setiap orang yang  mengisahkan riwayat hidupnya akan  menyebutkan hal tersebut.
            Ibnu  Sa’ad berkata  : Al Hasan  adalah orang yang pertama kali mengatakan  tentang irja, dikisahkan  bahwa Zadzan  dan Maisaroh  datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran  sebuah buku  yang ia tulis tentang irja, maka Al Hasan berkata pada Zadzan : " Wahai Abu Umar  sungguh aku  lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak menulis buku tersebut”.
            Buku yang ditulis oleh Al Hasan ini hanyalah Irja tentang sahabat yang ikut serta dalam perselisihan yang terjadi  setelah Wafatnya Abu Bakar dan Umar.
Orang-orang Murjiah mengatakan bahwa Iman adalah amalan hati saja atau amalan lisan saja atau kedua-duanya  bukan amalan yang bermakna rukun ( amalan dzohir ), serta iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Sampai-sampai perbuatan kafir dan zindik pun  tidak membahayakan bagi keimanan seorang muslim.
            Dalam madzhab Abu Hanifah iman itu hanya sampai  pada pembenaran dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan, maka yang satu tidak berguna bagi  yang lainnya, barang siapa yang beriman dengan hatinya tapi berdusta / kafir dengan lisannya, maka bukanlah seorang mukmin.( Firoq Muasiroh : 2 / 749 )
Pembagian Murjiah
            Ibnul Jauzi mengatakan  bahwa Murjiah terbagi menjadi  11 bagian  :       
1. Attarikah
Mereka mengatakan : Tidak ada  kewajiban bagi seorang hamba kepada Allah selain hanya  beriman saja. Barang siapa yang telah beriman kepada-Nya dan telah mengenal-Nya maka dia boleh berbuat sesukanaya. 
2. Assaibiah
Mereka mengatakan : Sesungguhnya Allah  membiarkan hamba-Nya untuk berbuat sesukanya. 
3. Ar Rojiah
Mereka mengatakan : Kami  tidak mengatakan taat bagi orang yang taat, dan juga tidak menyebut maksiat bagi orang yang melakukan perbuatan maksiat karena kami tidak mengetahui   kedudukan  mereka di sisi Allah.
4. Asy- Syakiah
Mereka mengatakan  : Sesungguhnya ketaatan itu bukanlah dari iman.
5. Baihasyiah  ( nisbah pada  Baihasy bin Haishom )
 Mereka mengatakan : Iman itu adalah ilmu, barang siapa yang tidak mengetahui yang hak dan yang batil, juga tidak mengetahui halal dan haram maka dia telah kafir .
6. Manqushiah                                      
Mereka mengatakan  : Iman itu bertambah tapi tidak berkurang .
7. Mustatsniah
 Mereka  adalah orang-orang yang menafikan atau “istitsna“ ( pengecualian ) dalam hal keimanan.
8. Musyabbihah
Mereka mengatakan : Allah punya penglihatan sebagaimana penglihatanku juga punya tangan  sebagaiman tanganku.
9. Hasyawiah
Mereka menjadikan  hukum hadits semuanya adalah satu, dan menurut mereka  orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah sama halnya orang yang  meninggalakn  amalan fardhu.
10. Dzohiriyah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan ( tidak menggunakan ) qiyas.
11.Bid’iyyah
Mereka adalah orang pertama yang memulai bid’ah pada ummat ini.
Ghalib  Ali Awwaji dalam firoq muashiroh membagi Murjiah I’tiqodiyah (secara keyakinan) menjadi beberapa bagian yang sangat banyak, akan tetapi yang beliau sebutkan hanyalah  secara garis besarnya saja sebagaimana yang telah disebutkan oleh ulama firoq:
1. Murji’ah sunnah
Mereka adalah para pengikut hanafi, termasuk didalamnya adalah Abu hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman  juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah  Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah  orang-orang  yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
2. Murjiah Jabariyah
Mereka adalah jahmiyyah  ( para pengikut Jahm bin Shofwan ), Mereka  hanya mencukupkan diri dengan keyakina dalam hati saja .Dan menurut mereka maksiyat itu tidak berpengaruh pada iman  dan bahwasanya ikrar dengan lisan  dan amal bukan dari iman.
3. Murj’ah Qodariyyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan ad Damsyiki sebutan mereka Al Gilaniah
4. Murji’ah murni
Mereka adlah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
5. Murj’ah  karomiah
Mereka adalah  kawan-kawan Muhammad bin karom , mereka berpendapat bahwa iman hanyalah ikrar dan pembenaran dengan lisan tanpa pembenaran dengan hati
6. Murjiah khowarij
Mereka  adalah syabibiyyah dan sebagian kelompok shofariyyah  yang  tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar. Al Asy’ari  dalam makalahnya menghitung murji’ah sampai 12 kelompok.( Firoq Muashiroh  halaman 761)
Akan tetapi secara ringkas Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dalam majmu' fatawa membagi murjiah menjadi tiga bagian  :
 Pertama :Mereka yang mengatakan bahwa iman itu adalah hanya cukup di hati saja. Kemudian sebagian dari mereka ada yang memasukkan  dalam paham ini amalan hati. Mereka ini kebanyakan berasal dari murjiah, dan Abul Hasan Asy'ari telah menyebutkan  perkataaan  mereka di dalam bukunya. Di anatara mereka ada juga yang tidak memasukkan  amal dalam iman  seperti Jahm bin Shofyan dan orang-orang yang mengikutinya seperti Sholihi. Paham inilah yang dimenangkan oleh Jahm dan kebanyakan sahabatnya .
Kedua : Mereka yang mengatakan  bahwa iman itu hanya  ucapan lisan  saja. Dan pendapat yang kedua ini tidak dikenal sebelum  "Al Karomiyah".
Ketiga : Pendapat yang mengatakan bahwa iman itu adalah pembenaran dalam hati dan diucapkan dengan lisan. Pendapat yang  ketiga ini adalah pendapat ynag masyhur di kalangan ahli fikh  dan para pengikutnya. ( Majmu'  fatawa  Ibnu Taimiah juz 8 hal 195 )
Az-Zuhri berkata : Tidak ada bid’ah yang lebih berbahaya dalam Islam kecuali bid’ah  Irja.
Sedangkan menurut Al-Auza’i : Yahya bin Abi Katsir serta Qotadah mengatakan bahwa  Tiada  yang lebih ditakuti  oleh ummat  dalam hal  hawa  nafsu melebihi irja.
            Shofyan Ats-Tsauri  berkomentar : Murjiah  meninggalkan Islam lebih lembut dari pada  pakaian   Sabiri [jenis pakaian].
            Qotadah berkata :  Irja’ itu terjadi  setelah   adanya fitnah  kelompok  Ibnul Asy’ats. ( Majmu Fatwa  7/394-395 )
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Para salaf telah mengkafirkan Jahmiyah.  Begitu juga Imam Ahmad  dan Waqi’  serta yang lainnya menyatakan atas kekafiran orang yang mengatakan bahwa iman itu hanya cukup ma’rifah di hati walaupun  tidak diucapkannya. Tetapi mereka tidak mengkafirkan  murjiah secara total, walaupun mereka tetap membid’ahkannya dan keras pernyataan tentangnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Syaikhul Islam tentang mereka seraya berkata : “Para salaf dan aimmah bersepakat untuk tidak mengkafirkan murjiah dan syi’ah mufaddlolah (Kelompok yang mendahulukan Ali dari pada Utsman ) dan yang lainnya. Sedangkan dalam kontek Imam Ahmad dinyatakan mereka tidak dikafirkan, walaupun sebahagian sahabatnya ada yang mengakafirkan seluruh Ahli bid’ah dari kalangan mereka dan sebahagian sahabatnya yang lain tidak mengkafirkan, sampai-sampai sebahiagian sahabatnya  menyatakan kekekalan mereka di nereka, ini adalah pendapat yang salah didalam madhab Imam Ahmad begitu pula menurut syari’ah. ( Manhaj Ibnu Taimiyahfi masalati takfir 2 / 327- 328 )
            Gholib Ali Awaji berkata : Secara realita  nash-nash yang dikemukakan untuk  menguatkan  murjiah  atas keluarnya amal dari hakekat iman  tidak bisa diterima fahamnya yang menyatkan bahwa amalan zhohir itu keluar dari amal hati, karena imannya hati kalaulah ia menjadi sebuah asas yang mana dia menjadi tolak ukur  pertama akan tetapi  hal terseut tidak menafikan bahwa iman hati menjadi zhahir dengan amalan anggota tubuh  bahkan hal tersebut   adalah yang benar sedangkan nash  yang sudah jelas  tidak hanya  menunjukkan atas  pembenaran hati  saja  akan tetapi  justru iman itu tidak akan menjadi jelas kecuali  harus ditunjukkan dengan amalan zhahir. Sedangkan orang-orang yang menyisishkan amalan zhahir dalam hakekat iman  bisa disimpulakan bahwa mereka itu ingin merigankan hukum sampai terhadap orang yang fajir yang sudah tidak diragkan lagi  kefajirannya
            Maka  lanjut Gholib, akan anda dapatkan diantara orang murjiah itu tidak mengkafirkan seseorang karena amalan zhohir walaupun telah datang wahyu yang menyatakan kekafirannya  secara nyata. Mereka tidak berani mengungkap kekafirannya sampai-sampai malahan mereka  berkeyakinan dari hati mereka bahwa dia masih beriman  karena orang tadi, kalau sudah  pernah  membenarkan syiar-syi’ar Islam maka tidak boleh dikafirkan walaupun mengamalkan kekafiran  kecuali kalau tashdiq-nya  telah hilang  dari hatinya  maka mereka baru  mau  mengkafirkannya.         
            Hal ini bisa terjadi dikarenakan mereka meninggalkan keterkaitan amal dengan keimanan hati, padahal sebenarnya amalan kafir yang ia lakukan itu bisa mengkafirkannya, apabila perbuatan tersebut telah ada wahyu yang menyatakan  bahwa pelakunya telah kafir, meskipun hati tidak mengkafirinya, begitu pula ketika anggota badan melakukan kekafiran seperti halnya  mencela Allah dan RosulNya atau mengutamakan undang-undang buatan manusia dari pada syariat islam

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grocery Coupons