Murjiah secara bahasa memiliki arti : Angan-angan, takut ,mengakhirkan, memberi, mengharap.
Firman Allah dalam surat An nisa’ :104 : "Sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka ".
Dan firman-Nya dalam Surat Nuh :13 : "Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah ".
Kata Roja’ mempunyai arti takut yaitu apabila lafadz Roja’ bersama dengan huruf nafi. Adapun Irja’ yang mempunyai arti takhir (mengakhirkan ) sebagaimana dalam firman-Nya surat Al a’rof :111 yang dibaca arji’hu yaitu akhirhu. ( Firoq muashiroh Juz II hal 745 )
Secara istilah para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan dalam mengartikan Murjiah, secara ringkas Murjiah adalah :
1. Irja diambil dari kata bahasa yang berarti “takhir dan imhal “ (mengakhirkan dan meremehkan ). Irja semacam ini adalah irja (mengakhirkan) amal dalam derajat iman serta menempatkannya pada posisi kedua berdasarkan iman, dia bukan menjadi sebagian iman, karena iman secara majaz tercakup didalamnya amal. Padahal amal itu sebenarnya adalah sebagai pembenar dari iman sebagaimana yang telah diucapkan kepada orang–orang yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat itu tidak bisa membahahayakan keimanan sebagaina ketaatan tidak bermanfaat bagi orang kafir.
Pengertian seperti ini tercakup juga didalamnya orang-orang yang mengakhirkan amal dari niat dan tashdiq ( pembenaran ) .
2. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Irja“ adalah mengakhirkan hukuman kepada pelaku dosa besar sampai hari kiamat yang mana dia tidak akan diberi balasan dengan hukuman apapun ketika masih di dunia.
3. Sebagian mereka ada yang mengartikan “Irja“ dengan perkara yang terjadi pada Ali, yang mana Ali, diposisiskan pada peringkat keempat dalam tingkatan sahabat. Atau mengakhirkan urusan Ali dan Utsman kepada Allah serta tidak menyatakan bahwa mereka berdua beriman atau kafir, sebagian orang murjiah ada yang tidak memasukkan sebagian sahabat yang berlepas diri dari fitnah yang terjadi diantara sahabat Ali dan Muawiyah dalam pengertian Irja ini . ( Firoq muashiroh Juz II hal 745 )
Sejarah munculnya Murjiah
Pada awalnya Irja muncul untuk mengcounter paham khowarij yang mengkafirkan hakamain [dua orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan Muawiyah] juga untuk mengcounter Ali bin Abi Tholib, Irja semacam ini bukanlah Irja yang bersangkutan dengan iman. Mereka ini hanya membicarakn tentang perkara dua kelompok yang berperang diantara para sahabat saja.
Dan orang yang pertama kali berbicara dalam masalah Irja adalah Al Hasan bin Muhammad bin Hanifah, beliau meninggal pada tahun 99 H, dan setiap orang yang mengisahkan riwayat hidupnya akan menyebutkan hal tersebut.
Ibnu Sa’ad berkata : Al Hasan adalah orang yang pertama kali mengatakan tentang irja, dikisahkan bahwa Zadzan dan Maisaroh datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran sebuah buku yang ia tulis tentang irja, maka Al Hasan berkata pada Zadzan : " Wahai Abu Umar sungguh aku lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak menulis buku tersebut”.
Buku yang ditulis oleh Al Hasan ini hanyalah Irja tentang sahabat yang ikut serta dalam perselisihan yang terjadi setelah Wafatnya Abu Bakar dan Umar.
Orang-orang Murjiah mengatakan bahwa Iman adalah amalan hati saja atau amalan lisan saja atau kedua-duanya bukan amalan yang bermakna rukun ( amalan dzohir ), serta iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Sampai-sampai perbuatan kafir dan zindik pun tidak membahayakan bagi keimanan seorang muslim.
Dalam madzhab Abu Hanifah iman itu hanya sampai pada pembenaran dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan, maka yang satu tidak berguna bagi yang lainnya, barang siapa yang beriman dengan hatinya tapi berdusta / kafir dengan lisannya, maka bukanlah seorang mukmin.( Firoq Muasiroh : 2 / 749 )
Pembagian Murjiah
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa Murjiah terbagi menjadi 11 bagian :
1. Attarikah
Mereka mengatakan : Tidak ada kewajiban bagi seorang hamba kepada Allah selain hanya beriman saja. Barang siapa yang telah beriman kepada-Nya dan telah mengenal-Nya maka dia boleh berbuat sesukanaya.
2. Assaibiah
Mereka mengatakan : Sesungguhnya Allah membiarkan hamba-Nya untuk berbuat sesukanya.
3. Ar Rojiah
Mereka mengatakan : Kami tidak mengatakan taat bagi orang yang taat, dan juga tidak menyebut maksiat bagi orang yang melakukan perbuatan maksiat karena kami tidak mengetahui kedudukan mereka di sisi Allah.
4. Asy- Syakiah
Mereka mengatakan : Sesungguhnya ketaatan itu bukanlah dari iman.
5. Baihasyiah ( nisbah pada Baihasy bin Haishom )
Mereka mengatakan : Iman itu adalah ilmu, barang siapa yang tidak mengetahui yang hak dan yang batil, juga tidak mengetahui halal dan haram maka dia telah kafir .
6. Manqushiah
Mereka mengatakan : Iman itu bertambah tapi tidak berkurang .
7. Mustatsniah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan atau “istitsna“ ( pengecualian ) dalam hal keimanan.
8. Musyabbihah
Mereka mengatakan : Allah punya penglihatan sebagaimana penglihatanku juga punya tangan sebagaiman tanganku.
9. Hasyawiah
Mereka menjadikan hukum hadits semuanya adalah satu, dan menurut mereka orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah sama halnya orang yang meninggalakn amalan fardhu.
10. Dzohiriyah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan ( tidak menggunakan ) qiyas.
11.Bid’iyyah
Mereka adalah orang pertama yang memulai bid’ah pada ummat ini.
Ghalib Ali Awwaji dalam firoq muashiroh membagi Murjiah I’tiqodiyah (secara keyakinan) menjadi beberapa bagian yang sangat banyak, akan tetapi yang beliau sebutkan hanyalah secara garis besarnya saja sebagaimana yang telah disebutkan oleh ulama firoq:
1. Murji’ah sunnah
Mereka adalah para pengikut hanafi, termasuk didalamnya adalah Abu hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
2. Murjiah Jabariyah
Mereka adalah jahmiyyah ( para pengikut Jahm bin Shofwan ), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakina dalam hati saja .Dan menurut mereka maksiyat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
3. Murj’ah Qodariyyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan ad Damsyiki sebutan mereka Al Gilaniah
4. Murji’ah murni
Mereka adlah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
5. Murj’ah karomiah
Mereka adalah kawan-kawan Muhammad bin karom , mereka berpendapat bahwa iman hanyalah ikrar dan pembenaran dengan lisan tanpa pembenaran dengan hati
6. Murjiah khowarij
Mereka adalah syabibiyyah dan sebagian kelompok shofariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar. Al Asy’ari dalam makalahnya menghitung murji’ah sampai 12 kelompok.( Firoq Muashiroh halaman 761)
Akan tetapi secara ringkas Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dalam majmu' fatawa membagi murjiah menjadi tiga bagian :
Pertama :Mereka yang mengatakan bahwa iman itu adalah hanya cukup di hati saja. Kemudian sebagian dari mereka ada yang memasukkan dalam paham ini amalan hati. Mereka ini kebanyakan berasal dari murjiah, dan Abul Hasan Asy'ari telah menyebutkan perkataaan mereka di dalam bukunya. Di anatara mereka ada juga yang tidak memasukkan amal dalam iman seperti Jahm bin Shofyan dan orang-orang yang mengikutinya seperti Sholihi. Paham inilah yang dimenangkan oleh Jahm dan kebanyakan sahabatnya .
Kedua : Mereka yang mengatakan bahwa iman itu hanya ucapan lisan saja. Dan pendapat yang kedua ini tidak dikenal sebelum "Al Karomiyah".
Ketiga : Pendapat yang mengatakan bahwa iman itu adalah pembenaran dalam hati dan diucapkan dengan lisan. Pendapat yang ketiga ini adalah pendapat ynag masyhur di kalangan ahli fikh dan para pengikutnya. ( Majmu' fatawa Ibnu Taimiah juz 8 hal 195 )
Az-Zuhri berkata : Tidak ada bid’ah yang lebih berbahaya dalam Islam kecuali bid’ah Irja.
Sedangkan menurut Al-Auza’i : Yahya bin Abi Katsir serta Qotadah mengatakan bahwa Tiada yang lebih ditakuti oleh ummat dalam hal hawa nafsu melebihi irja.
Shofyan Ats-Tsauri berkomentar : Murjiah meninggalkan Islam lebih lembut dari pada pakaian Sabiri [jenis pakaian].
Qotadah berkata : Irja’ itu terjadi setelah adanya fitnah kelompok Ibnul Asy’ats. ( Majmu Fatwa 7/394-395 )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Para salaf telah mengkafirkan Jahmiyah. Begitu juga Imam Ahmad dan Waqi’ serta yang lainnya menyatakan atas kekafiran orang yang mengatakan bahwa iman itu hanya cukup ma’rifah di hati walaupun tidak diucapkannya. Tetapi mereka tidak mengkafirkan murjiah secara total, walaupun mereka tetap membid’ahkannya dan keras pernyataan tentangnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Syaikhul Islam tentang mereka seraya berkata : “Para salaf dan aimmah bersepakat untuk tidak mengkafirkan murjiah dan syi’ah mufaddlolah (Kelompok yang mendahulukan Ali dari pada Utsman ) dan yang lainnya. Sedangkan dalam kontek Imam Ahmad dinyatakan mereka tidak dikafirkan, walaupun sebahagian sahabatnya ada yang mengakafirkan seluruh Ahli bid’ah dari kalangan mereka dan sebahagian sahabatnya yang lain tidak mengkafirkan, sampai-sampai sebahiagian sahabatnya menyatakan kekekalan mereka di nereka, ini adalah pendapat yang salah didalam madhab Imam Ahmad begitu pula menurut syari’ah. ( Manhaj Ibnu Taimiyahfi masalati takfir 2 / 327- 328 )
Gholib Ali Awaji berkata : Secara realita nash-nash yang dikemukakan untuk menguatkan murjiah atas keluarnya amal dari hakekat iman tidak bisa diterima fahamnya yang menyatkan bahwa amalan zhohir itu keluar dari amal hati, karena imannya hati kalaulah ia menjadi sebuah asas yang mana dia menjadi tolak ukur pertama akan tetapi hal terseut tidak menafikan bahwa iman hati menjadi zhahir dengan amalan anggota tubuh bahkan hal tersebut adalah yang benar sedangkan nash yang sudah jelas tidak hanya menunjukkan atas pembenaran hati saja akan tetapi justru iman itu tidak akan menjadi jelas kecuali harus ditunjukkan dengan amalan zhahir. Sedangkan orang-orang yang menyisishkan amalan zhahir dalam hakekat iman bisa disimpulakan bahwa mereka itu ingin merigankan hukum sampai terhadap orang yang fajir yang sudah tidak diragkan lagi kefajirannya
Maka lanjut Gholib, akan anda dapatkan diantara orang murjiah itu tidak mengkafirkan seseorang karena amalan zhohir walaupun telah datang wahyu yang menyatakan kekafirannya secara nyata. Mereka tidak berani mengungkap kekafirannya sampai-sampai malahan mereka berkeyakinan dari hati mereka bahwa dia masih beriman karena orang tadi, kalau sudah pernah membenarkan syiar-syi’ar Islam maka tidak boleh dikafirkan walaupun mengamalkan kekafiran kecuali kalau tashdiq-nya telah hilang dari hatinya maka mereka baru mau mengkafirkannya.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan mereka meninggalkan keterkaitan amal dengan keimanan hati, padahal sebenarnya amalan kafir yang ia lakukan itu bisa mengkafirkannya, apabila perbuatan tersebut telah ada wahyu yang menyatakan bahwa pelakunya telah kafir, meskipun hati tidak mengkafirinya, begitu pula ketika anggota badan melakukan kekafiran seperti halnya mencela Allah dan RosulNya atau mengutamakan undang-undang buatan manusia dari pada syariat islam
0 komentar:
Posting Komentar